Pentingnya Program Pencegahan HIV-AIDS dari Ibu dan Anak


AIDS merupakan kumpulan gejala menghilangnya atau berkurangnya kemampuan seseorang mengatasi infeksi yang didapatkan sehingga orang tersebut akan mudah mengalami infeksi bakteri, virus, atau jamur yang pada orang normal tidak menimbulkan penyakit (infeksi oportunistik). Gejala AIDS timbul setelah 5-10 tahun setelah terinfeksi HIV. Beberapa orang tidak mengalami gejala saat terinfeksi pertama kali. Sementara yang lainnya mengalami gejala-gejala seperti flu, termasuk demam, kehilangan nafsu makan, berat badan turun, lemah dan pembengkakan saluran getah bening.  Secara sederhana dapat dikatakan bahwa seseorang mengalami AIDS jika terinfeksi virus HIV menurut hasil konfirmasi laboratorium 5-10 tahun yang lalu dan mengalami gangguan pada sistem kekebalan tubuh sehingga mudah terjadi  infeksi mikroorganisme yang merugikan.


Menurut data dari Suku Dinas Kesehatan Kota Jakarta Selatan, Tahun 2011-2013 terakhir ini jumlah anak yang tercatat terinfeksi HIV-AIDS sebanyak 149 kasus dan jumlah ibu hamil yang HIV Positif sebanyak 63 kasus sedangkan angka kasus penularan HIV dari ibu ke anak di Indonesia sudah mencapai 2,8% dari seluruh kasus HIV-AIDS yang dilaporkan. Oleh karena itu butuh upaya dalam mencegah terjadinya peningkatan jumlah kasus HIV-AIDS pada anak.

Sumber :
http://ngrempon.blogspot.jp/2015/12/gejala-dan-pencegahan-hivaids.html
Upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2004, khususnya di daerah dengan tingkat epidemi HIV tinggi. Namun, hingga akhir tahun 2011 baru terdapat 94 layanan PPIA (Kemkes, 2011), yang baru menjangkau sekitar 7% dari perkiraan jumlah ibu yang memerlukan layanan PPIA. Sebagian besar infeksi HIV dapat dicegah dengan upaya pencegahan penularan dari ibu-ke-anak yang komprehensif dan efektif di fasilitas pelayanan kesehatan.

Program pelayanan kesehatan untuk mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu ke anak, dilaksanakan program pencegahan (PPIA) secara komprehensif meliputi empat prong. Program PPIA ini dapat diakses di fasilitas pelayanan kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit. Empat prong tersebut adalah prong 1 membahas tentang melakukan pencegahan pada perempuan usia produktif, prong 2 tentang pencegahan kehamilan pada ibu positif HIV,  prong 3 pencegahan penularan dari ibu positif HIV ke anak yang dikandungnya serta prong 4 dengan memberikan dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu HIV positif beserta anak dan keluarganya. Oleh karena itu, menggalakkan program PPIA akan mampu mengendalikan penyakit sedini mungkin sehingga program pencegahan penyakit tercapai.

Permasalahan pelaksanaan PPIA di Indonesia tidak hanya muncul dari pasien dalam mengungkapkan status ODHA nya tetapi juga dalam segi manajerial program PPIA. Oleh karena itu penelitian ini ingin melihat gambaran pelaksanaan program PPIA dalam 2 aspek besar yaitu aspek sumber daya dan aspek pelaksanaan. Aspek sumber daya terdiri dari tenaga kesehatan, pendanaan, sarana dan prasarana. Sedangkan aspek pelaksanaan program PPIA adalah kegiatan yang dilakukan pada empat prong. Sehingga dari 2 aspek besar ini dapat ditarik sebuah kesimpulan dan rekomendasi dalam menyelesaikan tantangan dan kendala PPIA.   

Pelaksanaan program PPIA dibagi berdasarkan pendekatan prong. Prong adalah upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak yang komprehensif. Pelaksanaan kegiatan prong 1 lebih fokus pada pendekatan individu yang datang berkunjung ke puskesmas untuk diberikan KIE oleh Puskesmas sedangkan prong 2 dengan penyediaan KIE tentang HIV dan perilaku seks aman, pelaksanaan VCT pada pasangan dan anjuran penggunaan kondom sebagai pengaman. Selanjutnya kegiatan prong 3 menekankan pada pencegahan HIV melalui menghindari faktor risiko tertular seperti pertolongan persalinan yang aman, pemberian pengganti ASI ekslusif, menunda kehamilan, pemberian ARV dan deteksi awal HIV pada kehamilan melalui ANC terpadu. Kemudian kegiatan prong 4 adalah  dukungan dalam memberikan akses obat ARV dan alat kontrasepsi ke pasien, melakukan pemeriksaan kesehatan seperti gejala penyakit dan infeksi opportunistik, dukungan konseling dan pemberian layanan yang bersahabat.

Pada dasarnya puskesmas telah melaksanakan kegiatan prong 2,3 dan 4 tetapi hanya saja prong tersebut masih memiliki tantangan. Layanan PPIA untuk prong tersebut memiliki tantangan dalam menjaring ibu hamil yang terinfeksi HIV sedini mungkin dan membina situasi nyaman dengan ibu ODHA untuk mendapatkan layanan PPIA. Tantangan ini dikarenakan masalah stigma dan diskriminasi terhadap ODHA sehingga membuat ibu yang ODHA menjadi lambat dalam mengakses pelayanan PPIA. Berdasarkan hasil informasi dengan ibu yang ODHA menyatakan bahwa puskesmas bukan tempat yang tepat untuk dilakukan pelayanan PPIA. Hal ini dikarenakan kekhawatiran ibu yang ODHA diketahui status ODHA nya oleh masyarakat setempat. Selanjutnya hal yang dilakukan ibu berstatus ODHA yang lai di Puskesmas yang berbeda adalah melakukan pemeriksaan kesehatan pada puskesmas dan bidan praktek yang berbeda-beda tiap kali kunjungan. Berdasakan temuan lapangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa ODHA belum merasa nyaman dengan adanya program PPIA di Puskesmas sehingga tantangan puskesmas adalah membangun bina suasana nyaman dengan ibu yang ODHA agar dapat berperilaku yang tidak menularkan HIV kepada anaknya.

Selain permasalahan ODHA yang tidak open status kepada masyarakat, permasalahan lain adalah data PPIA tidak terintegrasi. Tidak terintegrasi data PPIA ini mengakibatkan evaluasi program menjadi terhambat dan tidak adanya perbaikan pelayanan PPIA di Puskesmas. Hasil temuan dilapangan mendapatkan bahwa data PPIA di puskesmas terpisah-pisah sebagai contoh data ibu hamil yang terinfeksi HIV ada di bagian poli KIA, data penderita HIV-AIDS ada di Poli IMS/VCT dan data promosi kesehatan HIV ke masyarakat ada di poli HIV. Oleh karena itu perlu terintegrasi data PPIA di Puskesmas sehingga dapat memudahkan dalam penyusunan perencanaan dan evaluasi program PPIA berdasarkan evidence based guna perbaikan pelayanan PPIA ke pasien dan masyarakat. Oleh karena itu perlu sebuah kebijakan yang dapat menyelesaikan kendala dan tantangan program tersebut sehingga dapat berjalan secara optimal. Kebijakan tersebut perlu menentukan tindakan prioritas dalam program PPIA di Kota Jakarta Selatan.

Priority actions for the Prevention of Mother to Child Transmission (HIV)  dapat tertuang dalam beberapa langkah kegiatan, yaitu (1) membentuk Pokja PPIA yang terintegrasi; (2) meningkatkan sumber daya kesehatan yang terlatih baik kuantitas dan kualitas untuk program PPIA; (3) memaksimalkan peran puskesmas dalam program jejaring pelayanan PPIA komprehensif melalui dukungan peraturan daerah; (4) Pendidikan kesehatan reproduksi untuk siswa sekolah menengah.

Peta Jejaring Pelayanan PPIA Komprehensif (Kemenkes, 2012)


Tindakan yang dapat diprioritaskan dalam pelayanan PPIA komprehensif ini berdasarkan priority actions for the Prevention of Mother to Child Transmission (HIV) adalah membentuk pokja PPIA. Salah satu kelompok kerja (pokja) PPIA yang ada di Indonesia adalah Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan dan Puskesmas. Pokja di puskesmas dapat terdiri dari dokter yang bertanggung jawab pada HIV/AIDS, Bidan yang bertanggung jawab pada KIA, Konselor yang bertanggung jawab pada VCT, laboran untuk tenaga laboratorium tes HIV dan tenaga promosi kesehatan yang bertanggung jawab dalam mobilisasi masyarakat dan KIE. Pokja di Puskesmas berbeda dengan Pokja PPIA di Sudinkes Jaksel. Pokja di Sudinkes Jaksel terdiri dari Pemegang program KIA, pemegang program HIV-AIDS, pemegang program Promkes. Pembentukan pokja di tiap puskesmas dan sudinkes ini dilakukan untuk mengatasi permasalahan koordinasi dan integrasi pelayanan PPIA yang komprehensif. Selain itu, Pokja PPIA di tempat tersebut dapat menjadi pusat data dan informasi program PPIA sehingga data dan informasi tersebut dapat digunakan sebagai dasar acuan perbaikan pelayanan program PPIA berdasarkan evidence based.

Selain pembentukan pokja PPIA, hal yang dapat dilakukan lagi dalam program PPIA adalah meningkatkan sumber daya kesehatan yang terlatih baik kuantitas dan kualitas. Pemanfaatan sumber daya kesehatan yang medis maupun non medis yang ada di puskesmas untuk diikutkan pelatihan PPIA. Pelatihan PPIA dapat mengacu pada modul pelatihan PPIA tingkat nasional. Pelatihan sumber daya kesehatan ini dapat mengatasi permasalahan disparitas tenaga kesehatan yang melaksanakan program PPIA di puskesmas yang tidak merata. Pelatihan ini diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan sumber daya kesehatan program PPIA di Jakarta Selatan. Prioritas tindakan selanjutnya dalam meningkatkan pelayanan PPIA di Jakarta Selatan adalah memaksimalkan peran puskesmas dalam jejaring pelayanan PPIA.

Peran Puskesmas dalam jejaring pelayanan PPIA komprehensif adalah memaksimalkan koordinasi antar mitra jejaring pelayanan PPIA komprehensif. Pelayanan PPIA komprehensif didukung oleh peran Rumah Sakit, LSM, Kelompok Dukungan Sebaya dan Bidan Praktek Swasta. Puskesmas sebagai penghubung antar mitra kerja jejaring pelayanan PPIA komprehensif. Pelayanan PPIA di Puskesmas sebagai basis dasar pelayanan kesehatan primer dan preventif (puskesmas pembantu dan puskesmas keliling) meliputi pelayanan konseling sebelum dan sesudah tes HIV, pelayanan tes HIV, rujukan ke rumah sakit rujukan ARV serta dukungan yang terintegrasi dengan pelayanan KIA (meliputi pelayanan antenatal, persalinan, nifas bayi baru lahir) dan pelayanan KB (konseling pilihan alat kontrasepsi bagi perempuan HIV positif), termasuk menerima rujukan dari pelayanan PPIA berbasis masyarakat yang dijalankan oleh LSM ataupun KDS. Dengan demikian, Puskesmas menjalankan prong 1, 2, dan 3 dari kegiatan PPIA komprehensif. Dan karena PPIA komprehensif berlandaskan pada jejaring pelayanan antar institusi maka perlu peran masing-masing institusi berjalan secara optimal, diperlukan sumber daya manusia yang memiliki pengetahuan dan keterampilan pelayanan PPIA yang memadai.

Selain peningkatan pengetahuan dan keterampilan jejaring pelayanan PPIA antar institusi, peningkatan pengetahuan kepada kelompok perempuan usia produktif menjadi cukup penting dalam penyelesaian masalah prong 1. Peningkatan pengetahuan ini dapat dilakukan dengan penerapan kurikulum pendidikan kesehatan reproduksi pada siswa sekolah menengah sehingga informasi PPIA sudah tersebar luas kepada target sasaran prong 1 PPIA. Penyelesaian masalah HIV-AIDS perlu dilakukan dengan pendekatan yang komprehensif dan multi sektor sehingga eliminasi kasus menjadi harapan nyata di masa depan.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIAS

Validitas Eksternal

Pengantar Surveilans Epidemiologi Kesehatan dan Keselamatan Kerja