“REFLEKSI (Menjadi) GURU”
Ditengah gempuran negara api yang sangat dahsyat, ucapan rasa
syukur yang luar biasa kepada pahlawan tanpa tanda jasa di seluruh Indonesia (guru)
dan Dunia (sensei). Dedikasi kepada negeri menjadi penyemangat abadi untuk
jalankan roda negeri ini. Semangat kepada negeri menjadi bahan bakar untuk
mencerdaskan bangsa. Keikhlasan kepada negeri menjadi cerminan akhlak untuk
membangun peradaban. Berat memang tanggung jawab menjadi pendidik sehingga
menjadi kewajiban seluruh warga negara Indonesia untuk menempatkan mereka pada
derajat yang lebih tinggi di dunia ini.
Semua orang pada dasarnya adalah guru untuk orang lain karena
setiap orang memiliki pengalaman berharga yang belum pernah dilalui orang lain.
Setiap pengalaman adalah guru yang terbaik sehingga inilah yang menjadi dasar
kenapa setiap orang adalah guru. Tapi pernyataan sederhana ini tidak semudah
yang dibayangkan. Menjadi guru/pendidik itu sangat sulit karena banyak modal
yang harus dimiliki diantaranya kesabaran, keikhlasan, ketulusan dan juga “ketegaan”.
Pada akhirnya semua ini akan didapat dari sebuah pengorbanan yang tak tahu
kapan akan berakhir. Semua ‘ketegaan’ akan berhilir pada proses belajar
penyadaran yang lebih baik.
Pengalaman dalam dunia pendidikan akan membimbing untuk
merefleksi diri atas segala perilaku yang telah dikerjakan. Pertanggungjawaban
terhadap apa yang telah diberikan kepada mereka yang sedang mengharap banyak
ilmu untuk diberikan. Pertanggungjawaban terhadap bagaimana yang telah
disampaikan menjadi sebuah ilmu yang bermanfaat. Pertanggungjawaban terhadap
siapa yang akan menjadi apa dari ilmu yang telah diberikan. Pertanggungjawaban terhadap
dimana ilmu yang diberikan akan menjadi ladang amal pahala bagi mereka yang
mendengarkan. Pertanggungjawaban ini bukan
kepada atasan, tetapi pada yang lebih besar dari itu. Dia adalah Bumi Pertiwi
yang selalu lara dan bersusah hati serta berharap akan segera berakhir dengan
cerahnya masa depan Indonesia. Serta ALLAH SWT yang tidak tidur, tidak lupa,
tidak tuli, dan tidak buta atas apa yang dikerjakan hambaNya dan apa yang
diminta hambaNya. KepadaNyalah semua pertanggungjawaban akan berujung dan
dibalas dengan ganjaran yang setimpal dengan apa yang dikerjakan. Pada akhirnya
jangan pernah berharap menjadi guru/pendidik dapat memperkaya diri, keluarga
dan golongan tertentu tapi berharaplah untuk menjadi pribadi yang lebih baik, menciptakan
generasi menjadi lebih baik dan membangun bangsa menjadi lebih baik.
Pertanyaan penting untuk jadi bahan refleksi (menjadi) guru
ini adalah apa yang terjadi pada generasi bangsa sekarang ini. Bagaimana mereka
bisa menjadi seperti itu dan kenapa ?. Ini pertanyaan yang sangat sederhana
tapi sangat sulit untuk dijawab dengan mudah. Pertanyaan ini adalah refleksi
diri atas dekadensi moral generasi bangsa yang sangat memilukan. Guru dianiaya,
dosen dibunuh, dan mereka dipenjara atas dasar emosi sesaat yang tidak rasional
dan berdasar. Apa yang salah dengan metode pendidikan moral generasi bangsa
saat ini sehingga membentuk karakter dan mengajarkan mereka mengelola emosi
saja pun tak mampu. Apakah ini adalah kesalahan pendidik yang hanya mampu
mengajar perhitungan kalkulus tingkat dewa, menghafal semua jenis spesies
makhluk hidup di ekosistem atau menjelaskan persamaan kimia reaksi reduksi oksidasi
pada soal olimpiade sains. Guru tidak hanya ditugaskan untuk mengajar apa yang
belum diketahui tetapi guru juga diwajibkan untuk mengelola perasaan siswa agar
tidak mudah terbawa perasaan.
Generasi sekarang cenderung untuk mudah baper (*red=bawa
perasaan) karena dinamika sosial mereka sangat dinamis akan tetapi pola
pendidikan untuk generasi sekarang cenderung statis. Pendidikan perasaan (lebih
tepatnya emosional) menjadi bagian yang jarang mendapat perhatian karena
pendidikan perasaan ini dibangun melalui social
bonding/ikatan sosial yang setara. Mereka harus merasa nyaman berada pada ikatan
yang dibangun sehingga proses pendidikan dan pembelajaran menjadi mudah
diterima oleh mereka. Guru perlu datang ke rumah mereka, makan bersama mereka
dan jika perlu menginap di rumah mereka untuk mengenal kebiasaan sehari-hari
mereka dengan tujuan dapat menentukan program pendidikan yang tepat untuk
mereka. Pendekatan inklusif ini akan sangat efektif pada jumlah siswa yang
terbatas dan sedikit sehingga perhatian menjadi lebih fokus dan mendalam.
Mulailah untuk mengenal secara personal siswa yang memiliki “keterbatasan” baik
secara akademik maupun non akademik dan berpotensi untuk menjadi pemenang. Bukan malah menghukumi “keterbatasan” dengan
perkataan dan perlakuan yang tidak produktif. Pendekatan inklusif ini sangat
teoritis tapi terbukti berhasil pada seluruh percobaan yang pernah dilakukan.
Generasi bangsa sudah
berubah dan saatnya sekarang juga ikut berubah kearah yang lebih baik dengan
mengenal lebih baik. Sudah saatnya menjadi mahir dalam perkembangan dunia
sosial karena banyak hal yang dapat diperoleh dari dunia sosial termasuk
perkembangan fisik dan psikologis siswa. Belajarlah untuk lebih banyak
mendengar, melihat, bekerja dan berbuat. Berhentilah untuk mengeluh,
bermalas-malasan, gaptek, dan menggerutu
karena apa yang dilakukan oleh para pendidik sekarang akan menjadi cerminan generasi
mendatang. Mulailah bersama mereka, berproseslah bersama mereka, dan nikmatilah
hasil bersama mereka karena semua akan indah pada waktunya.
....Selamat Hari Guru....
....Guru Bersahabat, Bangsa Bermartabat....
Komentar
Posting Komentar