RABIES SEBAGAI ZOONOSIS DAN EPIDEMIOLOGI
Zoonosis adalah penyakit atau
infeksi yang ditularkan secara alamiah di antara hewan vertebrata dan manusia.
Peternakan di Indonesia rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk zoonosis.
Dengan demikian, zoonosis merupakan ancaman baru bagi kesehatan manusia.
Berkembangnya zoonosis dalam beberapa tahun terakhir menjadi tanda bertambahnya
ancaman penyakit yang mematikan bagi manusia yang ditularkan oleh hewan. Sampai
saat ini, terdapat tidak kurang dari 300 penyakit hewan yang dapat menulari
manusia. Dalam 20 tahun terakhir, 75% penyakit baru pada manusia terjadi akibat
perpindahan patogen dari hewan ke manusia atau bersifat zoonotik, dan dari
1.415 mikroorganisme patogen pada manusia, 61,6% bersumber dari hewan (Widodo
2008).
Zoonosis dapat ditularkan dari
hewan ke manusia melalui beberapa cara, yaitu kontak langsung dengan hewan
pengidap zoonosis dan kontak tidak langsung melalui vektor atau mengonsumsi
pangan yang berasal dari ternak sakit, atau melalui aerosol di udara ketika
seseorang berada pada lingkungan yang tercemar (Suharsono 2002; Nicholas dan
Smith 2003). Penyakit yang diderita ternak selama pemeliharaan dapat menular ke
manusia melalui konsumsi bahan pangan asal ternak tersebut. Berbagai penyakit
ternak saat ini sedang berjangkit di beberapa daerah di Indonesia. Berdasarkan
hewan penularnya, zoonosis dibedakan menjadi zoonosis yang berasal dari satwa
liar, zoonosis dari hewan yang tidak dipelihara tetapi ada di sekitar rumah,
seperti tikus yang dapat menularkan leptospirosis, dan zoonosis dari hewan yang
dipelihara manusia.
Wabah zoonosis banyak menelan
korban jiwa, seperti di Malaysia. Lebih dari 80 orang meninggal dunia diduga
akibat penyakit yang berasal dari babi, yang ditandai dengan peradangan otak (ensefalitis)
yang ditularkan oleh nyamuk. WHO juga mencatat terdapat 310 kasus avian influenza
(AI) atau flu burung. Rabies (penyakit anjing gila) adalah penyakit hewan yang
disebabkan oleh virus, bersifat akut serta menyerang susunan saraf pusat. Hewan
berdarah panas dan manusia.
Rabies bersifat zoonosis artinya penyakit tersebut dapat menular dari hewan ke manusia dan menyebabkan kematian pada manusia dengan CFR (Case Fatality Rate) 100%.
Rabies bersifat zoonosis artinya penyakit tersebut dapat menular dari hewan ke manusia dan menyebabkan kematian pada manusia dengan CFR (Case Fatality Rate) 100%.
Virus rabies dikeluarkan bersama
air liur hewan yang terinfeksi dan disebarkan melalui luka gigitan atau
jilatan. Penyakit rabies merupakan penyakit menular akut bersifat zoonosis dari
susunan syaraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies. Ditularkan oleh hewan
penular rabies terutama anjing, kucing dan kera melalui gigitan, aerogen,
transplantasi atau kontak dengan bahan yang mengandung virus rabies pada kulit
yang lecet atau mukosa.
Kasus Rabies di Dunia dan
Indonesia
Rabies masih dianggap sebagai
zoonosis paling penting di Indonesia. Arti penting penyakit itu tidak dinilai
dari jumlah kematian manusia yang ditimbulkannya, tetapi dari efek psikologis
orang-orang yang terpapar, dengan ketidaknyamanan, dan bahaya yang dapat
ditimbulkan oleh vaksinasi Pastuer dengan menggunakan vaksin asal otak kera,
dan penyebab kematian yang sangat potensial terutama pada daerah-daerah padat
penduduk seperti di negeri ini (RESSANG, 1962; TITKEMEYER dan RESSANG, 1962).
Kedua peneliti tersebut melaporkan bahwa pada tahun 1960-an, selama 12 tahun
lebih dari 33.000 orang telah menerima suntikan vaksinasi Pasteur. Mereka
menyatakan bahwa sangatlah sukar untuk mengukur kerugian yang disebabkan oleh
kepanikan, kegelisahan ataupun kekhawatiran yang dialami oleh orang-orang itu,
atau kesakitan, ketidaknyamanan, dan waktu yang terbuang percuma pada saat
pengobatan itu. Pada tahun 1950-an, 10 orang meninggal tiap tahunnya karena
rabies (RESSANG, 1959).
Gambaran rabies pada tahun
1977-1978 adalah sebagai berikut: daerah-daerah endemis rabies adalah Sumatra
Utara, Sumatra Barat, Jawa Barat, dan Sulawesi Utara. Di daerahdaerah tersebut,
kemungkinan untuk mendapatkan rabies dari gigitan anjing adalah dari 21 gigitan
anjing di Sumatra Utara, 1 merupakan gigitan anjing gila, sedangkan di
daerah-daerah lain berturut-turut, 1 dari 20 gigitan untuk Sumatra Barat, 1
dari 15 gigitan di Jawa Barat dan 1 dari 15 gigitan di Sulawesi Utara. Lebih
jauh, risiko meninggal karena gigitan anjing paling tinggi adalah di Sulawesi
Utara, yaitu setiap 96 gigitan anjing akan menyebabkan 1 kematian karena
rabies. Untuk ketiga daerah lainnya, angka kematian itu berturut-turut: 1
kematian dari 345 gigitan di Sumatra Utara, di Jawa Barat 1 dari 576, dan di
Sumatra Barat 1 dari 825 gigitan anjing (HARDJOSWORO et al. 1981).
Sampai saat ini, vektor utama rabies di Indonesia adalah anjing, kucing dan monyet sedangkan rabies pada hewan piara lainnya hanya kadang-kadang saja dilaporkan. Di antara satwa liar, dua ekor musang telah diketahui sebagai positif rabies dan beberapa tikus dicurigai mendapatkan infeksi setelah menggigit orang (RESSANG, 1959; HARDJOSWORO et al. 1981).
Sampai saat ini, vektor utama rabies di Indonesia adalah anjing, kucing dan monyet sedangkan rabies pada hewan piara lainnya hanya kadang-kadang saja dilaporkan. Di antara satwa liar, dua ekor musang telah diketahui sebagai positif rabies dan beberapa tikus dicurigai mendapatkan infeksi setelah menggigit orang (RESSANG, 1959; HARDJOSWORO et al. 1981).
Usaha pemberantasan rabies di
Indonesia mungkin berhasil baik di beberapa daerah, tetapi tidak akan mampu
membebaskan keseluruhan wilayah Indonesia dari rabies. Rabies di Indonesia
tidak akan menurun, bahkan mungkin akan lebih menyebar lagi ke berbagai pulau
yang tadinya bebas, meskipun telah ada Ordonansi Rabies sejak tahun 1926
(RESSANG,1959; HARDJOSWORO et al. 1981; WIRYOSUHANTO, 1993). Pada tahun 1956,
pulau-pulau Sangir dan Talaud yang mula-mula bebas rabies menjadi positif
dengan terserangnya 18 orang penduduk. Demikian pula pada tahun yang sama
daerah Maluku Tenggara yang tadinya negatif menjadi positif rabies. Sampai
tahun 1993 tinggal 7 provinsi di Indonesia yang masih bebas rabies, yaitu Bali,
NTB, NTT, Timtim, Maluku, Papua dan Kalimantan Barat. serta pulau-pulau
disekitar Pulau Madura dan sekitar Sumatera (WIRYOSUHANTO, 1993). Dengan
terjadinya rabies di Flores pada tahun 1998 dan Maluku tahun 2003, dan lepasnya
Timur Timur dari Indonesia, maka hanya provinsi Bali, NTB, Papua, dan
Kalimantan Barat yang bebas dari penyakit ini. Kasus rabies manusia dan hewan
antara 1988–1992.
Di Pulau Jawa dan Kalimantan,
setelah diadakan program terpadu sejak tahun 1988, kasus rabies dapat ditekan
sampai mencapai titik terendah. Di Pulau Jawa kasus rabies pada hewan menurun
dari 36 kasus per tahun pada 1988 menjadi 15 kasus per tahun pada 1992.
Demikian pula, untuk Pulau Kalimantan terjadi penurunan dari 21 kasus per tahun
menjadi 9 kasus pada tahun 1992. Yang tidak boleh dilupakan adalah potensi
rabies sebagai penyebab kematian, terutama di beberapa wilayah padat penduduk.
Bali yang merupakan daya tarik wisata dunia merupakan daerah dengan populasi
anjing liar yang sangat tinggi. Sampai saat ini (2004) daerah wisata ini masih
bebas dari rabies. Namun, lebih dari empat puluh tahun sebelumnya TITKEMEYER
dan RESSANG (1962) mengkhawatirkan bahwa bila sampai ada seekor anjing gila
berhasil memasuki daerah itu, maka surga wisata tersebut dalam sekejap akan
berubah menjadi daerah bencana yang sangat mengerikan.
Faktor lain yang menyebabkan
rabies masih merupakan zoonosis penting di dunia adalah akibat samping dari
vaksinasi pascagigitan berupa ensefalitis. Puluhan penderita gigitan anjing di
Sulawesi Utara yang mendapatkan vaksinasi dengan vaksin yang berasal dari otak
kera menunjukkan gejala ensefalitis pascavaksinasi dan bahkan beberapa
meninggal dunia. Dari 6212 orang yang mendapatkan vaksinasi pascagigitan antara
tahun 1972 sampai 1980, 82 orang (1,32%) menunjukkan gejala ensefalitis dan 43
orang (0,54%) dari penderitanya meninggal dunia (HARDJOSWORO et al. 1981).
Sejarah Rabies
Rabies merupakan penyakit hewan
yang sangat terkenal, bahkan sudah dikenal sejak ribuan tahun sebelum masehi.
Prasasti rabies yang berisikan aturan denda bagi pemilik anjing, yang positif
rabies menggigit manusia hingga mati telah dibuat pada zaman kekuasaan raja
Hamurabi (2300 SM). Rabies pada anjing dan kucing telah digambarkan oleh
Democritus (500 SM) dan Aristoteles (322 SM), Celcus (100 tahun sesudah masehi)
untuk pertama kalinya memperkenalkan hubungan antara gejala takut air
(hidrofobia) pada manusia dengan rabies pada hewan.
Di Indonesia rabies pertama kali
dilaporkan pada kerbau oleh Esser (1884), kemudian oleh Penning pada anjing
(1889) dan oleh E.V. De Haan pada manusia (1894), selanjutnya selama pendudukan
Jepang situasi daerah tertular rabies tidak diketahui dengan pasti, namun
setelah Perang Dunia II peta rabies di Indonesia berubah. Secara kronologis
tahun kejadian penyakit rabies mulai di Jawa Barat (1948), Sumatera Barat, Jawa
Tengah dan Jawa Timur (1953), Sumatera Utara (1956), Sulawesi Selatan dan
Sulawesi Utara (1958), Sumatera Selatan (1959), D.I. Aceh (1970), Jambi dan
Yogyakarta (1971), Bengkulu, DKI Jakarta dan Sulawesi Tenggara (1972),
Kalimantan Timur (1974), Riau (1975), Kalimantan Tengah (1978), Kalimantan
Selatan (1983) dan P. Flores (1997).Pada akhir tahun 1997, KLB (Kejadian Luar
Biasa) rabies muncul di Kab. Flores Timur-NTT sebagai akibat pemasukan secara
ilegal anjing dari pulau Buton- Sulawesi Tenggara yang merupakan daerah endemik
rabies. Sampai dengan saat ini selain beberapa provinsi di kawasan Timur
Indonesia yang tersebut diatas pulau-pulau kecil di sekeliling Pulau Sumatera
masih dinyatakan bebas rabies.
Etiologi Rabies
Rabies merupakan penyakit
zoonosis yang dapat menular melalui semua hewan berdarah panas dan hampir semua
kejadian infeksinya akan berakhir dengan kematian. Penyakit ini disebabkan oleh
Rhabdovirus Virus ini berbentuk peluru berkapsula dengan ukuran 70x170 nm.
Kapsula yang menyelubungi nya tersusun atas peplomer glikoprotein, bahan
protein (protein matrix) dan lipoprotein. Virus ini memiliki nukleo kapsid
dengan simetri heliks, genom sRNA linear polaritas minus, 11-12 kb. Rhabdovirus
mereplikasi diri dalam sitoplasma, transkiptrase virus mentranskripsi lima RNA
subgenom yang ditranslasi menjadi lima protein yaitu transkriptase (150 K),
Nukleoprotein (50-62 K), protein matrix (20-30 K), peplomer glikoprotein (70-80
K) dan protein tidak bersturktur (40-50 K). Pendewasaan virus ini melalui
penguncupan menembus membrane (Fenner, 1987). Rhabdovirus mempunyai masa
inkubasi selama 10 hari – 6 bulan namun, biasanya 3-8 minggu (Soeharsono,2002).
Penularan rabies biasanya terjadi
melalui gigitan hewan yang telah terinfeksi, pencemaran luka segar atau selaput
lendir dengan saliva atau otak hewan yang telah terinfeksi. Pada kasus tertentu
penularan melalaui udara dapat juga terjadi (Schnurrenberger,1991). Virus ini
berkembang biak dalam kelenjar ludah. Sangat peka terhadap pelarut yang
bersifat alkalis seperti sabun, desinfektan, alkohol, dll. Sistem yang diserang
adalah Sistem syaraf atau nervous system : clinical encephalitis yang dapat
bersifat paralitik / furious dan glandula salivarius : mengandung sejumlah
besar partikel virus yang berada di saliva.
Patofisiologi
Virus masuk ke tubuh melalui luka
(biasanya dari gigitan hewan buas) atau lewat membrana mucosa, bereplikasi di
mycosit; menyebar ke jaringan ikat neuromusculer dan spindle neurotendineal;
berjalan ke CNS lewat cairan intraaxonal dengan nervus perifer; menyebar keseluruhan
ke CNS; akhirnya menyebar secara sentrifugal dengan motor perifer, sensori, dan
neuron. Cara penularan melalui gigitan dan non gigitan (aerogen, transplantasi,
kontak dengan bahan mengandung virus rabies pada kulit lecet atau mukosa).
Cakaran oleh kuku hewan penular rabies adalah berbahaya karena binatang
menjilati kuku-kukunya. Saliva yang ditempatkan pada permukaan mukosa seperti
konjungtiva mungkin infeksius. Ekskreta kelelawar yang mengandung virus rabies
cukup untuk menimbulkan bahaya rabies pada mereka yang masuk gua yang
terinfeksi dan menghirup aerosol yang diciptakan oleh kelelawar.
Penularan rabies melalui
transplan kornea dari penderita dengan ensefalitis rabies yang tidak
didiagnosis pada resipen/penerima sehat telah direkam dengan cukup sering.
Penularan dari orang ke orang secara teoritis mungkin tetapi kurang
terdokumentasi dan jarang terjadi.
Luka gigitan biasanya merupakan tempat masuk virus melalui saliva, virus tidak bisa masuk melalui kulit utuh. Setelah virus rabies masuk melalui luka gigitan, maka selama 2 minggu virus tetap tinggal pada tempat masuk dan didekatnya, kemudian bergerak mencapai ujung-ujung serabut saraf posterior tanpa menunjukkan perubahan-perubahan fungsinya. Bagian otak yang terserang adalah medulla oblongata dan annon’s hoorn. Sesampainya di otak virus kemudian memperbanyak diri dan menyebar luas dalam semua bagian neuron, terutama mempunyai predileksi khusus terhadap sel-sel sistem limbik, hipotalamus dan batang otak. Setelah memperbanyak diri dalam neuron-neuron sentral, virus kemudian ke arah perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf volunter maupun saraf otonom. Dengan demikian virus ini menyerang hampir tiap organ dan jaringan didalam tubuh dan berkembang biak dalam jaringan- jaringan seperti kelenjar ludah, ginjal dan sebagainya. Gambaran yang paling menonjol dalam infeksi rabies adalah terdapatnya badan negri yang khas yang terdapat dalam sitoplasma sel ganglion besar
Luka gigitan biasanya merupakan tempat masuk virus melalui saliva, virus tidak bisa masuk melalui kulit utuh. Setelah virus rabies masuk melalui luka gigitan, maka selama 2 minggu virus tetap tinggal pada tempat masuk dan didekatnya, kemudian bergerak mencapai ujung-ujung serabut saraf posterior tanpa menunjukkan perubahan-perubahan fungsinya. Bagian otak yang terserang adalah medulla oblongata dan annon’s hoorn. Sesampainya di otak virus kemudian memperbanyak diri dan menyebar luas dalam semua bagian neuron, terutama mempunyai predileksi khusus terhadap sel-sel sistem limbik, hipotalamus dan batang otak. Setelah memperbanyak diri dalam neuron-neuron sentral, virus kemudian ke arah perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf volunter maupun saraf otonom. Dengan demikian virus ini menyerang hampir tiap organ dan jaringan didalam tubuh dan berkembang biak dalam jaringan- jaringan seperti kelenjar ludah, ginjal dan sebagainya. Gambaran yang paling menonjol dalam infeksi rabies adalah terdapatnya badan negri yang khas yang terdapat dalam sitoplasma sel ganglion besar
Masa Inkubasi
Masa inkubasi rabies pada anjing
10 – 15 hari, dan pada hewan lain 3-6 minggu kadang-kadang berlangsung sangat
panjang 1-2 tahun. Masa inkubasi pada manusia yang khas adalah 1-2 bulan tetapi
bisa 1 minggu atau selama beberapa tahun (mungkin 6 tahun atau lebih). Biasanya
lebih cepat pada anak-anak dari pada dewasa. Kasus rabies manusia dengan
periode inkubasi yang panjang (2 sampai 7 tahun) telah dilaporkan, tetapi
jarang terjadi. Masa inkubasi bisa tergantung pada umur pasien, latar belakang
genetik, status immun, strain virus yang terlibat, dan jarak yang harus
ditempuh virus dari titik pintu masuknya ke susunan saraf pusat. Masa inkubasi
tergantung dari lamanya pergerakan virus dari luka sampai ke otak, pada gigitan
dikaki masa inkubasi kira-kira 60 hari, pada gigitan di tangan masa inkubasi 40
hari, pada gigitan di kepala masa inkubasi kira-kira 30 hari
Gejala Klinis Rabies Pada Hewan
Dan Manusia
Gejala klinis pada hewan dibagi
menjadi tiga stadium : 1. Stadium Prodromal
Keadaan ini merupakan tahapan awal gejala klinis yang dapat berlangsung antara 2-3 hari. Pada tahap ini akan terlihat adanya perubahan temperamen yang masih ringan. Hewan mulai mencari tempat-tempat yang dingin/gelap, menyendiri, reflek kornea berkurang, pupil melebar dan hewan terlihat acuh terhadap tuannya. Hewan menjadi sangat perasa, mudah terkejut dan cepat berontak bila ada provokasi. Dalam keadaan ini perubahan perilaku mulai diikuti oleh kenaikan suhu badan.
Keadaan ini merupakan tahapan awal gejala klinis yang dapat berlangsung antara 2-3 hari. Pada tahap ini akan terlihat adanya perubahan temperamen yang masih ringan. Hewan mulai mencari tempat-tempat yang dingin/gelap, menyendiri, reflek kornea berkurang, pupil melebar dan hewan terlihat acuh terhadap tuannya. Hewan menjadi sangat perasa, mudah terkejut dan cepat berontak bila ada provokasi. Dalam keadaan ini perubahan perilaku mulai diikuti oleh kenaikan suhu badan.
2. Stadium Eksitasi. Tahap
eksitasi berlangsung lebih lama daripada tahap prodromal, bahkan dapat
berlangsung selama 3-7 hari. Hewan mulai garang, menyerang hewan lain ataupun
manusia yang dijumpai dan hipersalivasi. Dalam keadaan tidak ada provokasi
hewan menjadi murung terkesan lelah dan selalu tampak seperti ketakutan. Hewan
mengalami fotopobi atau takut melihat sinar sehingga bila ada cahaya akan
bereaksi secara berlebihan dan tampak ketakutan.
3. Stadium Paralisis. Tahap paralisis ini dapat berlangsung secara singkat, sehingga sulit untuk dikenali atau bahkan tidak terjadi dan langsung berlanjut pada kematian. Hewan mengalami kesulitan menelan, suara parau, sempoyongan, akhirnya lumpuh dan mati.
Gejala klinis pada manusia dibagi menjadi empat stadium.
1. Stadium Prodromal. Gejala awal yang terjadi sewaktu virus menyerang susunan saraf pusat adalah perasaan gelisah, demam, malaise, mual, sakit kepala, gatal, merasa seperti terbakar, kedinginan, kondisi tubuh lemah dan rasa nyeri di tenggorokan selama beberapa hari.
2. Stadium Sensoris. Penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada tempat bekas luka kemudian disusul dengan gejala cemas dan reaksi yang berlebihan terhadap ransangan sensoris.
3. Stadium Eksitasi. Tonus otot-otot akan aktivitas simpatik menjadi meninggi dengan gejala berupa eksitasi atau ketakutan berlebihan, rasa haus, ketakutan terhadap rangsangan cahaya, tiupan angin atau suara keras. Umumnya selalu merintih sebelum kesadaran hilang. Penderita menjadi bingung, gelisah, rasa tidak nyaman dan ketidak beraturan.
Kebingungan menjadi semakin hebat dan berkembang menjadi argresif, halusinasi, dan selalu ketakutan. Tubuh gemetar atau kaku kejang.
4. Stadium Paralis. Sebagian besar penderita rabies meninggal dalam stadium eksitasi. Kadang-kadang ditemukan juga kasus tanpa gejala-gejala eksitasi, melainkan paresis otot-otot yang bersifat progresif. Hal ini karena gangguan sumsum tulang belakang yang memperlihatkan gejala paresis otot-otot pernafasan.
3. Stadium Paralisis. Tahap paralisis ini dapat berlangsung secara singkat, sehingga sulit untuk dikenali atau bahkan tidak terjadi dan langsung berlanjut pada kematian. Hewan mengalami kesulitan menelan, suara parau, sempoyongan, akhirnya lumpuh dan mati.
Gejala klinis pada manusia dibagi menjadi empat stadium.
1. Stadium Prodromal. Gejala awal yang terjadi sewaktu virus menyerang susunan saraf pusat adalah perasaan gelisah, demam, malaise, mual, sakit kepala, gatal, merasa seperti terbakar, kedinginan, kondisi tubuh lemah dan rasa nyeri di tenggorokan selama beberapa hari.
2. Stadium Sensoris. Penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada tempat bekas luka kemudian disusul dengan gejala cemas dan reaksi yang berlebihan terhadap ransangan sensoris.
3. Stadium Eksitasi. Tonus otot-otot akan aktivitas simpatik menjadi meninggi dengan gejala berupa eksitasi atau ketakutan berlebihan, rasa haus, ketakutan terhadap rangsangan cahaya, tiupan angin atau suara keras. Umumnya selalu merintih sebelum kesadaran hilang. Penderita menjadi bingung, gelisah, rasa tidak nyaman dan ketidak beraturan.
Kebingungan menjadi semakin hebat dan berkembang menjadi argresif, halusinasi, dan selalu ketakutan. Tubuh gemetar atau kaku kejang.
4. Stadium Paralis. Sebagian besar penderita rabies meninggal dalam stadium eksitasi. Kadang-kadang ditemukan juga kasus tanpa gejala-gejala eksitasi, melainkan paresis otot-otot yang bersifat progresif. Hal ini karena gangguan sumsum tulang belakang yang memperlihatkan gejala paresis otot-otot pernafasan.
Epidemiologi Rabies
Rabies telah menyebabkan kematian
pada orang dalam jumlah yang cukup banyak. Tahun 2000, World Health
Organization (WHO) memperkirakan bahwa setiap tahun di dunia ini terdapat
sekurang-kurangnya 50.000 orang meninggal karena rabies. Rabies bisa terjadi
disetiap musim atau iklim, dan kepekaan terhadap rabies kelihatannya tidak
berkaitan dengan usia, seks atau ras. Di Amerika Serikat rabies terutama
terjadi pada musang, raccoon, serigala dan kelelawar. Rabies serigala terdapat
di Kanada, Alaska dan New York. Kelelawar penghisap darah (vampir), yang
menggigit ternak merupakan bagian penting siklus rabies di Amerika latin. Eropa
mempunyai rabies serigala, di Asia dan Afrika masalah utamanya adalah anjing
gila.
Beberapa daerah di Indonesia yang
saat ini masih tertular rabies sebanyak 16 propinsi, meliputi Pulau Sumatera
(Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, dan
Lampung), Pulau Sulawesi (Gorontalo, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi
Selatan dan Sulawesi Tenggara), Pulau Kalimantan (Kalimantan Tengah, Kalimantan
Selatan, dan Kalimantan Timur) dan Pulau Flores. Kasus terakhir yang terjadi
adalah Propinsi Maluku (Kota Ambon dan Pulau Seram). Provinsi DKI Jakarta,
Banten, dan Jawa Barat telah dinyatakan bebas dari rabies melalui SK Menteri
Pertanian No. 566 Tahun 2004, Banten sejak tahun 1996, dan provinsi Jawa Barat
sejak tahun 2001. Dengan diterbitkannya SK Mentan bebas rabies ini, maka
seluruh pulau Jawa telah bebas rabies karena Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DI
Yogyakarta telah lebih dahulu dibebaskan berdasarkan SK Mentan No. 897 Tahun
1997.
Daerah yang secara historis bebas
rabies (belum pernah ada kasus) adalah provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timur (kecuali Pulau Flores), Kalimantan Barat, Papua, Irian Jaya
Barat, Maluku Utara, Kepulauan Riau dan Kepulauan Bangka Belitung dan sampai
saat ini tetap dapat dipertahankan bebas rabies. Manusia yang menderita rabies
selalu berakhir dengan kematian (100% Case Fatality Rate), gigitan oleh anjing
menempati persentase tertinggi (99,4%) diikuti kucing (0,29%) dan hewan lain,
kera dan hewan piaraan atau liar lainnya (0,31%). Bagian tubuh manusia yang
digigit meliputi kepala (5%), tangan (28%), kaki(57%), lain-lain (10%).
Kejadian Rabies Dilapangan
Kejadian (kasus) positif rabies
di lapangan dipengaruhi oleh
1) Pola Penggigitan. Ada 2 pola penggigitan oleh anjing terhadap manusia yaitu :
a. Penggigitan karena provokasi. Penggigitan yang terjadi disini didahului oleh adanya gangguan langsung atau tidak langsung. Pada anjing yang sedang beranak biasanya naluri untuk melindungi anaknya sangat kuat sehingga sangat mudah sekali anjing menyerang dan menggigit apalagi kalau diganggu. Bentuk-bentuk provokasi terhadap anjing sangat beragam dari mulai memukul, menyeret ekor sampai dengan menggoda anjing yang sedang tidur. Hal tersebut akan menstimulasi anjing untuk menggigit. Bahkan pada kejadian lain orang membawa makanan yang lewat didepan anjing yang sedang lapar dapat memicu terjadinya penggigitan.
b. Penggigitan tanpa provokasi. Dalam hal ini anjing menyerang dan menggigit secara tiba-tiba tanpa adanya gangguan dalam bentuk apapun. Dilapangan anjing yang menggigit secara tiba-tiba tadi biasanya sudah menjadi ”wandering-dog” atau anjing lontang-lantung yang berjalan tanpa tujuan dan menyerang serta menggigit siapa saja yang ditemuinya. Anjing tersebut biasanya adalah anjing liar atau anjing peliharaan yang ditelantarkan sehingga menjadi liar.
2) Pola Penyebaran. Penularan rabies di lapangan (rural rabies) berawal dari suatu kondisi anjing yang tidak dipelihara dengan baik atau anjing liar yang merupakan ciri khas yang ada di perdesaan yang berkembang dan sulit dikendalikan. Suatu kondisi yang sangat kondusif untuk menjadikan suatu daerah dapat bertahan menjadi daerah endemis. Secara alami yang sering terjadi pola penyebaran rabies. Pada umumnya manusia merupakan ”dead end” atau terminal akhir dari korban gigitan. Karena sampai saat ini belum ada kasus manusia
menggigit anjing. Baik anjing liar, anjing peliharaan yang menjadi liar maupun anjing peliharaan, setiap saat dapat menggigit manusia. Sementara itu anjing liar, anjing peliharaan yang menjadi liar dapat menggigit satu sama lain. Kalau salah satu diantara anjing yang menggigit tersebut positif rabies, maka akan terjadi kasus-kasus positif (+) rabies yang semakin tinggi.
3) Pembagian Status Daerah Rabies.
1) Pola Penggigitan. Ada 2 pola penggigitan oleh anjing terhadap manusia yaitu :
a. Penggigitan karena provokasi. Penggigitan yang terjadi disini didahului oleh adanya gangguan langsung atau tidak langsung. Pada anjing yang sedang beranak biasanya naluri untuk melindungi anaknya sangat kuat sehingga sangat mudah sekali anjing menyerang dan menggigit apalagi kalau diganggu. Bentuk-bentuk provokasi terhadap anjing sangat beragam dari mulai memukul, menyeret ekor sampai dengan menggoda anjing yang sedang tidur. Hal tersebut akan menstimulasi anjing untuk menggigit. Bahkan pada kejadian lain orang membawa makanan yang lewat didepan anjing yang sedang lapar dapat memicu terjadinya penggigitan.
b. Penggigitan tanpa provokasi. Dalam hal ini anjing menyerang dan menggigit secara tiba-tiba tanpa adanya gangguan dalam bentuk apapun. Dilapangan anjing yang menggigit secara tiba-tiba tadi biasanya sudah menjadi ”wandering-dog” atau anjing lontang-lantung yang berjalan tanpa tujuan dan menyerang serta menggigit siapa saja yang ditemuinya. Anjing tersebut biasanya adalah anjing liar atau anjing peliharaan yang ditelantarkan sehingga menjadi liar.
2) Pola Penyebaran. Penularan rabies di lapangan (rural rabies) berawal dari suatu kondisi anjing yang tidak dipelihara dengan baik atau anjing liar yang merupakan ciri khas yang ada di perdesaan yang berkembang dan sulit dikendalikan. Suatu kondisi yang sangat kondusif untuk menjadikan suatu daerah dapat bertahan menjadi daerah endemis. Secara alami yang sering terjadi pola penyebaran rabies. Pada umumnya manusia merupakan ”dead end” atau terminal akhir dari korban gigitan. Karena sampai saat ini belum ada kasus manusia
menggigit anjing. Baik anjing liar, anjing peliharaan yang menjadi liar maupun anjing peliharaan, setiap saat dapat menggigit manusia. Sementara itu anjing liar, anjing peliharaan yang menjadi liar dapat menggigit satu sama lain. Kalau salah satu diantara anjing yang menggigit tersebut positif rabies, maka akan terjadi kasus-kasus positif (+) rabies yang semakin tinggi.
3) Pembagian Status Daerah Rabies.
1. Daerah Bebas. Kriterianya :-
Daerah yang secara historis tidak pernah ditemukan penyakit rabies. - Daerah
yang tertular rabies tapi dalam 2 tahun terakhir tidak ada kasus secara klinis
dan epidemiologis serta sudah dikonfirmasi secara laboratoris.
2. Daerah Tertular. Kriterianya :
- Daerah yang dalam 2 tahun terakhir pernah ada kasus pada hewan dan manusia
(baik secara berurutan atau tunggal) secara klinis epidemiologis dan
dikonfirmasi secara laboratoris. Khusus untuk manusia kasusnya berasal dari
daerah tersebut (bukan kasus import)
3. Daerah Tersangka. Kriterianya : - Daerah yang dalam 2 tahun terakhir ada kasus rabies secara klinis dan epidemiologis tapi belum dibuktikan secara laboratoris.
- Daerah yang berbatasan langsung dalam satu daratan dengan daerah tertular.
3. Daerah Tersangka. Kriterianya : - Daerah yang dalam 2 tahun terakhir ada kasus rabies secara klinis dan epidemiologis tapi belum dibuktikan secara laboratoris.
- Daerah yang berbatasan langsung dalam satu daratan dengan daerah tertular.
Pencegahan dan Pengendalian
Rabies
A. Pencegahan Primer Rabies
a) Tidak memberikan izin untuk
memasukkan atau menurunkan anjing, kucing, kera dan hewan sebangsanya di daerah
bebas rabies.b) Memusnahkan anjing, kucing, kera atau hewan sebangsanya yang
masuk tanpa izin ke daerah bebas rabies. c) Dilarang melakukan vaksinasi atau
memasukkan vaksin rabies kedaerah-daerah bebas rabies. d) Melaksanakan
vaksinasi terhadap setiap anjing, kucing dan kera, 70% populasi yang ada dalam
jarak minimum 10 km disekitar lokasi kasus.
e) Pemberian tanda bukti atau pening terhadap setiap kera, anjing, kucing yang telah divaksinasi.
f) Mengurangi jumlah populasi anjing liar atan anjing tak bertuan dengan jalan pembunuhan dan pencegahan perkembangbiakan. g) Anjing peliharaan, tidak boleh dibiarkan lepas berkeliaran, harus didaftarkan ke Kantor Kepala Desa/Kelurahan atau Petugas Dinas Peternakan setempat.
h) Anjing harus diikat dengan rantai yang panjangnya tidak boleh lebih dari 2 meter. Anjing yang hendak dibawa keluar halaman harus diikat dengan rantai tidak lebih dari 2 meter dan moncongnya harus menggunakan berangus (beronsong). i) Menangkap dan melaksanakan observasi hewan tersangka menderita rabies, selama 10 sampai 14 hari, terhadap hewan yang mati selama observasi atau yang dibunuh, maka harus diambil spesimen untuk dikirimkan ke laboratorium terdekat untuk diagnosa. j) Mengawasi dengan ketat lalu lintas anjing, kucing, kera dan hewan sebangsanya yang bertempat sehalaman dengan hewan tersangka rabies.
k) Membakar dan menanam bangkai hewan yang mati karena rabies sekurang-kurangnya 1 meter.
e) Pemberian tanda bukti atau pening terhadap setiap kera, anjing, kucing yang telah divaksinasi.
f) Mengurangi jumlah populasi anjing liar atan anjing tak bertuan dengan jalan pembunuhan dan pencegahan perkembangbiakan. g) Anjing peliharaan, tidak boleh dibiarkan lepas berkeliaran, harus didaftarkan ke Kantor Kepala Desa/Kelurahan atau Petugas Dinas Peternakan setempat.
h) Anjing harus diikat dengan rantai yang panjangnya tidak boleh lebih dari 2 meter. Anjing yang hendak dibawa keluar halaman harus diikat dengan rantai tidak lebih dari 2 meter dan moncongnya harus menggunakan berangus (beronsong). i) Menangkap dan melaksanakan observasi hewan tersangka menderita rabies, selama 10 sampai 14 hari, terhadap hewan yang mati selama observasi atau yang dibunuh, maka harus diambil spesimen untuk dikirimkan ke laboratorium terdekat untuk diagnosa. j) Mengawasi dengan ketat lalu lintas anjing, kucing, kera dan hewan sebangsanya yang bertempat sehalaman dengan hewan tersangka rabies.
k) Membakar dan menanam bangkai hewan yang mati karena rabies sekurang-kurangnya 1 meter.
B. Pencegahan Sekunder
Pertolongan pertama yang dapat
dilakukan untuk meminimalkan resiko tertularnya rabies adalah mencuci luka
gigitan dengan sabun atau dengan deterjen selama 5-10 menit dibawah air
mengalir/diguyur. Kemudian luka diberi alkohol 70% atau Yodium tincture. Setelah
itu pergi secepatnya ke Puskesmas atau Dokter yang terdekat untuk mendapatkan
pengobatan sementara sambil menunggu hasil dari rumah observasi hewan. Resiko
yang dihadapi oleh orang yang mengidap rabies sangat besar. Oleh karena itu,
setiap orang digigit oleh hewan tersangka rabies atau digigit oleh anjing di
daerah endemic rabies harus sedini mungkin mendapat pertolongan setelah
terjadinya gigitan sampai dapat dibuktikan bahwa tidak benar adanya infeksi
rabies.
C. Pencegahan Tersier
Tujuan dari tiga tahapan
pencegahan adalah membatasi atau menghalangi perkembangan ketidakmampuan,
kondisi, atau gangguan sehingga tidak berkembang ke tahap lanjut yang
membutuhkan perawatan intensif yang mencakup pembatasan terhadap ketidakmampuan
dengan menyediakan rehabilitasi. Apabila hewan yang dimaksud ternyata menderita
rabies berdasarkan pemeriksaan klinis atau laboratorium dari Dinas Perternakan,
maka orang yang digigit atau dijilat tersebut harus segera mendapatkan
pengobatan khusus (Pasteur Treatment) di Unit Kesehatan yang mempunyai
fasilitas pengobatan Anti Rabies dengan lengkap.
Pengendalian
a. Aturan Perundangan. Upaya pencegaan dan pengendalian rabies telah dilakukan sejak lama, di Indonesia dilaksanakan melalui kegiatan terpadu secara lintas sektoral antara lain dengan adanya Surat Keputusan Bersama 3 Menteri yaitu Menteri Kesehatan, Menteri Pertanian, dan Menteri Dalam Negeri No: 279A/MenKes/SK/VIII/1978; No: 522/Kpts/Um/8/78; dan No: 143/tahun1978. Penerapan aturan perundangan ini perlu ditegakkan, agar pelaksanaan di lapangan lebih efektif dan secara tegas memberikan otoritas kepada pelaksana untuk melakukan kewajibannya sesuai dengan aturan perundangan yang ada, baik tingkat nasional, tingkat kawasaan, maupun tingkat lokal.
b. Surveilans. Pelaksanaan surveilans untuk rabies merupakan dasar dari semua program dalam rangka pengendalian penyakit ini. Data epidemiologi harus dikumpulkan sebaik mungkin, dianalisis, dipetakan, dan bila mungkin segera didistribusikan secepat mungkin. Informasi ini juga penting untuk dasar perencanaan, pengorganisasian, dan pelaksanaan program pengendalian.
c. Vaksinasi Rabies. Untuk mencegah terjadinya penularan rabies, maka anjing, kucing, atau kera dapat diberi vaksin inaktif atau yang dilemahkan (attenuated). Untuk memperoleh kualitas vaksin yang efektif dan efisien, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, baik vaksin yang digunakan bagi hewan maupun bagi manusia, yakni :
a. Aturan Perundangan. Upaya pencegaan dan pengendalian rabies telah dilakukan sejak lama, di Indonesia dilaksanakan melalui kegiatan terpadu secara lintas sektoral antara lain dengan adanya Surat Keputusan Bersama 3 Menteri yaitu Menteri Kesehatan, Menteri Pertanian, dan Menteri Dalam Negeri No: 279A/MenKes/SK/VIII/1978; No: 522/Kpts/Um/8/78; dan No: 143/tahun1978. Penerapan aturan perundangan ini perlu ditegakkan, agar pelaksanaan di lapangan lebih efektif dan secara tegas memberikan otoritas kepada pelaksana untuk melakukan kewajibannya sesuai dengan aturan perundangan yang ada, baik tingkat nasional, tingkat kawasaan, maupun tingkat lokal.
b. Surveilans. Pelaksanaan surveilans untuk rabies merupakan dasar dari semua program dalam rangka pengendalian penyakit ini. Data epidemiologi harus dikumpulkan sebaik mungkin, dianalisis, dipetakan, dan bila mungkin segera didistribusikan secepat mungkin. Informasi ini juga penting untuk dasar perencanaan, pengorganisasian, dan pelaksanaan program pengendalian.
c. Vaksinasi Rabies. Untuk mencegah terjadinya penularan rabies, maka anjing, kucing, atau kera dapat diberi vaksin inaktif atau yang dilemahkan (attenuated). Untuk memperoleh kualitas vaksin yang efektif dan efisien, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, baik vaksin yang digunakan bagi hewan maupun bagi manusia, yakni :
·
Vaksin harus dijamin aman dalam pemakaian.
·
Vaksin harus memiliki potensi daya lindung yang
tinggi.
·
Vaksin harus mampu memberikan perlindungan
kekebalan yang lama.
·
Vaksin arus mudah dalam cara aplikasinya.
·
Vaksin harus stabil dan menghasilkan waktu
kadaluwarsa yang lama.
·
Vaksin harus selalu tersedia dan mudah didapat
sewaktu-waktu dibutuhkan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonimus(1). 2010. Rabies di Indonesia : Usulan Tindakan
Pengendalian ;
http://kafeungu.blogspot.com/2009/11/rabies-di-indonesia-usulan-tindakan.html
2. Anonimus(2).2010. Penyakit Rabies; http://id.shvoong.com/exact-sciences/veterinary/2027648-rabies/
3. Anonimus(3). 2010. Artikel Pets Animals Penyakit Rabies; http://www.vet-klinik.com/pets-Animals/Penyakit-rabies.html
4. Anonimus(5).2010. Penyakit Anjing Gila (Rabies), Sumber : Suku Dinas Peternakan dan Perikanan Kodya Jakarta Pusat; http://www.indoforum.org/archive/index.php/t-11437.html
5. Anonimus(6).2010. 24 Provinsi Endemik Rabies; Kompas;
http://health.kompas.com/read/2010/09/16/03552388/24.Provinsi.Endemik.Rabies
6. Anonimus(7).2010. Anjing Gila, Pengertian, Sejarah, Penyebab, Cara Mengatasi;http://ridwanaz.com/kesehatan/anjing-gila-pengertian-sejarah-penyebab-cara-mengatasi
7. Anonimus(8).2010. Rabies Ancam DKI, Ribuan Hewan Divaksinasi;
http://metro.vivanews.com/news/read/185922-jakarta-cegah-rabies-ribuan-hewan divaksinasi
8. Anonimus (7) Rabies ; http://id.wikipedia.org/wiki/Rabies/
9. Anonimus (8), 2004. Pedoman Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Hewan Menular Seri Penyakit Rabies. Direktorat Kesehatan Hewan. Direktorat Jenderal Peternakan. DepartemenPertanian.
10. Anonimus (9). 2006. Evaluasi Program Pembebasan Rabies di Pulau Sumatera. Makalah Pertemuan Tim Koordinasi Rabies Se Sumatera di Bengkulu. Direktorat Kesehatan Hewan. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian.
11. Anonimus (10). 2006. Situasi dan Kebijakan Program Pembebasan Rabies di Indonesia. Makalah Pertemuan Tim Koordinasi Rabies Se-Sumatera di Bengkulu. Ditjen PP & PL. DepartemenKesehatan.
12. Ditjen PPMPL Depkes RI. 2002. Petunjuk perencanaan dan Penatalaksanaan kasus gigitan Hewan tersangka / rabies Di indonesia
13. J. Frank, Fenner. 1987. Veterinary Virologi. [ D. K. Harya Putra, K. G. Suaryana]. Semarang: IKIP Semarang Press. 257:279
14. Maharis R., Natih K.K.N., soedijar r. L., Hermawan D., dan Nuryani N. 2007. Pengkajian Mutu Vaksin Rabies di 12 Propinsi di Indonesia. Buletin Pengujian Mutu Obat Hewan No. I 2. Balai Besar Penguj ian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan.
15. Moedijono G.M. 1996. Vaksin Anti Rabies, Potensi, Imunitas dan Evaluasi Hasil Vaksinasi di Lapangan. Buletin Pengujian Mutu Obat Hewan No. 5.
16. Menuju Sumatra Bebas Rabies Tahun 2015; http://www.bkpcilegon.com/cetak.php?id=50
17. OIE; 2007; OIE Procedure for Validation and Certification of Diagnostic Assay
18. Pengobatan, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan;
http://www.civas.net/content/pengobatan-pencegahan-pengendalian-dan-pemberantasan
19. Perda Nomor 11 DKI Jakarta Tahun 1995 tentang Pengawasan Hewan Rentan Rabies, Serta Pencegahan dan Penaggulangan Rabies di Daerah Khusus Ibukota Jakarta
20. Smith, Jean S; 1996; New Aspects of Rabies with Emphasis on Epidemiology, Diagnosis and Prevention of the Disease in the United States; Clinical Microbiology Reviews Vol. 9, No.2.
21. Soeharsono. 2002. Zoonosis. Jogjakarta: Kanisius. 67:72
22. Sudomo, Agung; Kusuma, Megasari; Maryuni, Vivi. IPB. 2009. Program Kreativitas Mahasiswa. Pemanfaatan Habbatus Sauda Untuk Terapi Penunjang Pencegah Rabies Pada Anjing
23. Schnurrenberger, R. Paul.1991. An Outline of the Zoonoses.Alabama: The Iowa State University Press. 60:63
24. Tizard, Ian. 1988. Immunologi Veteriner Ed. 2. Surabaya: Penerbit Universitas Airlangga. 203:206, 224:232
2. Anonimus(2).2010. Penyakit Rabies; http://id.shvoong.com/exact-sciences/veterinary/2027648-rabies/
3. Anonimus(3). 2010. Artikel Pets Animals Penyakit Rabies; http://www.vet-klinik.com/pets-Animals/Penyakit-rabies.html
4. Anonimus(5).2010. Penyakit Anjing Gila (Rabies), Sumber : Suku Dinas Peternakan dan Perikanan Kodya Jakarta Pusat; http://www.indoforum.org/archive/index.php/t-11437.html
5. Anonimus(6).2010. 24 Provinsi Endemik Rabies; Kompas;
http://health.kompas.com/read/2010/09/16/03552388/24.Provinsi.Endemik.Rabies
6. Anonimus(7).2010. Anjing Gila, Pengertian, Sejarah, Penyebab, Cara Mengatasi;http://ridwanaz.com/kesehatan/anjing-gila-pengertian-sejarah-penyebab-cara-mengatasi
7. Anonimus(8).2010. Rabies Ancam DKI, Ribuan Hewan Divaksinasi;
http://metro.vivanews.com/news/read/185922-jakarta-cegah-rabies-ribuan-hewan divaksinasi
8. Anonimus (7) Rabies ; http://id.wikipedia.org/wiki/Rabies/
9. Anonimus (8), 2004. Pedoman Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Hewan Menular Seri Penyakit Rabies. Direktorat Kesehatan Hewan. Direktorat Jenderal Peternakan. DepartemenPertanian.
10. Anonimus (9). 2006. Evaluasi Program Pembebasan Rabies di Pulau Sumatera. Makalah Pertemuan Tim Koordinasi Rabies Se Sumatera di Bengkulu. Direktorat Kesehatan Hewan. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian.
11. Anonimus (10). 2006. Situasi dan Kebijakan Program Pembebasan Rabies di Indonesia. Makalah Pertemuan Tim Koordinasi Rabies Se-Sumatera di Bengkulu. Ditjen PP & PL. DepartemenKesehatan.
12. Ditjen PPMPL Depkes RI. 2002. Petunjuk perencanaan dan Penatalaksanaan kasus gigitan Hewan tersangka / rabies Di indonesia
13. J. Frank, Fenner. 1987. Veterinary Virologi. [ D. K. Harya Putra, K. G. Suaryana]. Semarang: IKIP Semarang Press. 257:279
14. Maharis R., Natih K.K.N., soedijar r. L., Hermawan D., dan Nuryani N. 2007. Pengkajian Mutu Vaksin Rabies di 12 Propinsi di Indonesia. Buletin Pengujian Mutu Obat Hewan No. I 2. Balai Besar Penguj ian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan.
15. Moedijono G.M. 1996. Vaksin Anti Rabies, Potensi, Imunitas dan Evaluasi Hasil Vaksinasi di Lapangan. Buletin Pengujian Mutu Obat Hewan No. 5.
16. Menuju Sumatra Bebas Rabies Tahun 2015; http://www.bkpcilegon.com/cetak.php?id=50
17. OIE; 2007; OIE Procedure for Validation and Certification of Diagnostic Assay
18. Pengobatan, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan;
http://www.civas.net/content/pengobatan-pencegahan-pengendalian-dan-pemberantasan
19. Perda Nomor 11 DKI Jakarta Tahun 1995 tentang Pengawasan Hewan Rentan Rabies, Serta Pencegahan dan Penaggulangan Rabies di Daerah Khusus Ibukota Jakarta
20. Smith, Jean S; 1996; New Aspects of Rabies with Emphasis on Epidemiology, Diagnosis and Prevention of the Disease in the United States; Clinical Microbiology Reviews Vol. 9, No.2.
21. Soeharsono. 2002. Zoonosis. Jogjakarta: Kanisius. 67:72
22. Sudomo, Agung; Kusuma, Megasari; Maryuni, Vivi. IPB. 2009. Program Kreativitas Mahasiswa. Pemanfaatan Habbatus Sauda Untuk Terapi Penunjang Pencegah Rabies Pada Anjing
23. Schnurrenberger, R. Paul.1991. An Outline of the Zoonoses.Alabama: The Iowa State University Press. 60:63
24. Tizard, Ian. 1988. Immunologi Veteriner Ed. 2. Surabaya: Penerbit Universitas Airlangga. 203:206, 224:232
Komentar
Posting Komentar