RABIES SEBAGAI ZOONOSIS DAN EPIDEMIOLOGI




Zoonosis adalah penyakit atau infeksi yang ditularkan secara alamiah di antara hewan vertebrata dan manusia. Peternakan di Indonesia rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk zoonosis. Dengan demikian, zoonosis merupakan ancaman baru bagi kesehatan manusia. Berkembangnya zoonosis dalam beberapa tahun terakhir menjadi tanda bertambahnya ancaman penyakit yang mematikan bagi manusia yang ditularkan oleh hewan. Sampai saat ini, terdapat tidak kurang dari 300 penyakit hewan yang dapat menulari manusia. Dalam 20 tahun terakhir, 75% penyakit baru pada manusia terjadi akibat perpindahan patogen dari hewan ke manusia atau bersifat zoonotik, dan dari 1.415 mikroorganisme patogen pada manusia, 61,6% bersumber dari hewan (Widodo 2008).
Zoonosis dapat ditularkan dari hewan ke manusia melalui beberapa cara, yaitu kontak langsung dengan hewan pengidap zoonosis dan kontak tidak langsung melalui vektor atau mengonsumsi pangan yang berasal dari ternak sakit, atau melalui aerosol di udara ketika seseorang berada pada lingkungan yang tercemar (Suharsono 2002; Nicholas dan Smith 2003). Penyakit yang diderita ternak selama pemeliharaan dapat menular ke manusia melalui konsumsi bahan pangan asal ternak tersebut. Berbagai penyakit ternak saat ini sedang berjangkit di beberapa daerah di Indonesia. Berdasarkan hewan penularnya, zoonosis dibedakan menjadi zoonosis yang berasal dari satwa liar, zoonosis dari hewan yang tidak dipelihara tetapi ada di sekitar rumah, seperti tikus yang dapat menularkan leptospirosis, dan zoonosis dari hewan yang dipelihara manusia.
Wabah zoonosis banyak menelan korban jiwa, seperti di Malaysia. Lebih dari 80 orang meninggal dunia diduga akibat penyakit yang berasal dari babi, yang ditandai dengan peradangan otak (ensefalitis) yang ditularkan oleh nyamuk. WHO juga mencatat terdapat 310 kasus avian influenza (AI) atau flu burung. Rabies (penyakit anjing gila) adalah penyakit hewan yang disebabkan oleh virus, bersifat akut serta menyerang susunan saraf pusat. Hewan berdarah panas dan manusia.
Rabies bersifat zoonosis artinya penyakit tersebut dapat menular dari hewan ke manusia dan menyebabkan kematian pada manusia dengan CFR (Case Fatality Rate) 100%.
Virus rabies dikeluarkan bersama air liur hewan yang terinfeksi dan disebarkan melalui luka gigitan atau jilatan. Penyakit rabies merupakan penyakit menular akut bersifat zoonosis dari susunan syaraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies. Ditularkan oleh hewan penular rabies terutama anjing, kucing dan kera melalui gigitan, aerogen, transplantasi atau kontak dengan bahan yang mengandung virus rabies pada kulit yang lecet atau mukosa.
Kasus Rabies di Dunia dan Indonesia
Rabies masih dianggap sebagai zoonosis paling penting di Indonesia. Arti penting penyakit itu tidak dinilai dari jumlah kematian manusia yang ditimbulkannya, tetapi dari efek psikologis orang-orang yang terpapar, dengan ketidaknyamanan, dan bahaya yang dapat ditimbulkan oleh vaksinasi Pastuer dengan menggunakan vaksin asal otak kera, dan penyebab kematian yang sangat potensial terutama pada daerah-daerah padat penduduk seperti di negeri ini (RESSANG, 1962; TITKEMEYER dan RESSANG, 1962). Kedua peneliti tersebut melaporkan bahwa pada tahun 1960-an, selama 12 tahun lebih dari 33.000 orang telah menerima suntikan vaksinasi Pasteur. Mereka menyatakan bahwa sangatlah sukar untuk mengukur kerugian yang disebabkan oleh kepanikan, kegelisahan ataupun kekhawatiran yang dialami oleh orang-orang itu, atau kesakitan, ketidaknyamanan, dan waktu yang terbuang percuma pada saat pengobatan itu. Pada tahun 1950-an, 10 orang meninggal tiap tahunnya karena rabies (RESSANG, 1959).
Gambaran rabies pada tahun 1977-1978 adalah sebagai berikut: daerah-daerah endemis rabies adalah Sumatra Utara, Sumatra Barat, Jawa Barat, dan Sulawesi Utara. Di daerahdaerah tersebut, kemungkinan untuk mendapatkan rabies dari gigitan anjing adalah dari 21 gigitan anjing di Sumatra Utara, 1 merupakan gigitan anjing gila, sedangkan di daerah-daerah lain berturut-turut, 1 dari 20 gigitan untuk Sumatra Barat, 1 dari 15 gigitan di Jawa Barat dan 1 dari 15 gigitan di Sulawesi Utara. Lebih jauh, risiko meninggal karena gigitan anjing paling tinggi adalah di Sulawesi Utara, yaitu setiap 96 gigitan anjing akan menyebabkan 1 kematian karena rabies. Untuk ketiga daerah lainnya, angka kematian itu berturut-turut: 1 kematian dari 345 gigitan di Sumatra Utara, di Jawa Barat 1 dari 576, dan di Sumatra Barat 1 dari 825 gigitan anjing (HARDJOSWORO et al. 1981).
Sampai saat ini, vektor utama rabies di Indonesia adalah anjing, kucing dan monyet sedangkan rabies pada hewan piara lainnya hanya kadang-kadang saja dilaporkan. Di antara satwa liar, dua ekor musang telah diketahui sebagai positif rabies dan beberapa tikus dicurigai mendapatkan infeksi setelah menggigit orang (RESSANG, 1959; HARDJOSWORO et al. 1981).
Usaha pemberantasan rabies di Indonesia mungkin berhasil baik di beberapa daerah, tetapi tidak akan mampu membebaskan keseluruhan wilayah Indonesia dari rabies. Rabies di Indonesia tidak akan menurun, bahkan mungkin akan lebih menyebar lagi ke berbagai pulau yang tadinya bebas, meskipun telah ada Ordonansi Rabies sejak tahun 1926 (RESSANG,1959; HARDJOSWORO et al. 1981; WIRYOSUHANTO, 1993). Pada tahun 1956, pulau-pulau Sangir dan Talaud yang mula-mula bebas rabies menjadi positif dengan terserangnya 18 orang penduduk. Demikian pula pada tahun yang sama daerah Maluku Tenggara yang tadinya negatif menjadi positif rabies. Sampai tahun 1993 tinggal 7 provinsi di Indonesia yang masih bebas rabies, yaitu Bali, NTB, NTT, Timtim, Maluku, Papua dan Kalimantan Barat. serta pulau-pulau disekitar Pulau Madura dan sekitar Sumatera (WIRYOSUHANTO, 1993). Dengan terjadinya rabies di Flores pada tahun 1998 dan Maluku tahun 2003, dan lepasnya Timur Timur dari Indonesia, maka hanya provinsi Bali, NTB, Papua, dan Kalimantan Barat yang bebas dari penyakit ini. Kasus rabies manusia dan hewan antara 1988–1992.
Di Pulau Jawa dan Kalimantan, setelah diadakan program terpadu sejak tahun 1988, kasus rabies dapat ditekan sampai mencapai titik terendah. Di Pulau Jawa kasus rabies pada hewan menurun dari 36 kasus per tahun pada 1988 menjadi 15 kasus per tahun pada 1992. Demikian pula, untuk Pulau Kalimantan terjadi penurunan dari 21 kasus per tahun menjadi 9 kasus pada tahun 1992. Yang tidak boleh dilupakan adalah potensi rabies sebagai penyebab kematian, terutama di beberapa wilayah padat penduduk. Bali yang merupakan daya tarik wisata dunia merupakan daerah dengan populasi anjing liar yang sangat tinggi. Sampai saat ini (2004) daerah wisata ini masih bebas dari rabies. Namun, lebih dari empat puluh tahun sebelumnya TITKEMEYER dan RESSANG (1962) mengkhawatirkan bahwa bila sampai ada seekor anjing gila berhasil memasuki daerah itu, maka surga wisata tersebut dalam sekejap akan berubah menjadi daerah bencana yang sangat mengerikan.
Faktor lain yang menyebabkan rabies masih merupakan zoonosis penting di dunia adalah akibat samping dari vaksinasi pascagigitan berupa ensefalitis. Puluhan penderita gigitan anjing di Sulawesi Utara yang mendapatkan vaksinasi dengan vaksin yang berasal dari otak kera menunjukkan gejala ensefalitis pascavaksinasi dan bahkan beberapa meninggal dunia. Dari 6212 orang yang mendapatkan vaksinasi pascagigitan antara tahun 1972 sampai 1980, 82 orang (1,32%) menunjukkan gejala ensefalitis dan 43 orang (0,54%) dari penderitanya meninggal dunia (HARDJOSWORO et al. 1981).
Sejarah Rabies
Rabies merupakan penyakit hewan yang sangat terkenal, bahkan sudah dikenal sejak ribuan tahun sebelum masehi. Prasasti rabies yang berisikan aturan denda bagi pemilik anjing, yang positif rabies menggigit manusia hingga mati telah dibuat pada zaman kekuasaan raja Hamurabi (2300 SM). Rabies pada anjing dan kucing telah digambarkan oleh Democritus (500 SM) dan Aristoteles (322 SM), Celcus (100 tahun sesudah masehi) untuk pertama kalinya memperkenalkan hubungan antara gejala takut air (hidrofobia) pada manusia dengan rabies pada hewan.
Di Indonesia rabies pertama kali dilaporkan pada kerbau oleh Esser (1884), kemudian oleh Penning pada anjing (1889) dan oleh E.V. De Haan pada manusia (1894), selanjutnya selama pendudukan Jepang situasi daerah tertular rabies tidak diketahui dengan pasti, namun setelah Perang Dunia II peta rabies di Indonesia berubah. Secara kronologis tahun kejadian penyakit rabies mulai di Jawa Barat (1948), Sumatera Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur (1953), Sumatera Utara (1956), Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara (1958), Sumatera Selatan (1959), D.I. Aceh (1970), Jambi dan Yogyakarta (1971), Bengkulu, DKI Jakarta dan Sulawesi Tenggara (1972), Kalimantan Timur (1974), Riau (1975), Kalimantan Tengah (1978), Kalimantan Selatan (1983) dan P. Flores (1997).Pada akhir tahun 1997, KLB (Kejadian Luar Biasa) rabies muncul di Kab. Flores Timur-NTT sebagai akibat pemasukan secara ilegal anjing dari pulau Buton- Sulawesi Tenggara yang merupakan daerah endemik rabies. Sampai dengan saat ini selain beberapa provinsi di kawasan Timur Indonesia yang tersebut diatas pulau-pulau kecil di sekeliling Pulau Sumatera masih dinyatakan bebas rabies.
Etiologi Rabies
Rabies merupakan penyakit zoonosis yang dapat menular melalui semua hewan berdarah panas dan hampir semua kejadian infeksinya akan berakhir dengan kematian. Penyakit ini disebabkan oleh Rhabdovirus Virus ini berbentuk peluru berkapsula dengan ukuran 70x170 nm. Kapsula yang menyelubungi nya tersusun atas peplomer glikoprotein, bahan protein (protein matrix) dan lipoprotein. Virus ini memiliki nukleo kapsid dengan simetri heliks, genom sRNA linear polaritas minus, 11-12 kb. Rhabdovirus mereplikasi diri dalam sitoplasma, transkiptrase virus mentranskripsi lima RNA subgenom yang ditranslasi menjadi lima protein yaitu transkriptase (150 K), Nukleoprotein (50-62 K), protein matrix (20-30 K), peplomer glikoprotein (70-80 K) dan protein tidak bersturktur (40-50 K). Pendewasaan virus ini melalui penguncupan menembus membrane (Fenner, 1987). Rhabdovirus mempunyai masa inkubasi selama 10 hari – 6 bulan namun, biasanya 3-8 minggu (Soeharsono,2002).
Penularan rabies biasanya terjadi melalui gigitan hewan yang telah terinfeksi, pencemaran luka segar atau selaput lendir dengan saliva atau otak hewan yang telah terinfeksi. Pada kasus tertentu penularan melalaui udara dapat juga terjadi (Schnurrenberger,1991). Virus ini berkembang biak dalam kelenjar ludah. Sangat peka terhadap pelarut yang bersifat alkalis seperti sabun, desinfektan, alkohol, dll. Sistem yang diserang adalah Sistem syaraf atau nervous system : clinical encephalitis yang dapat bersifat paralitik / furious dan glandula salivarius : mengandung sejumlah besar partikel virus yang berada di saliva.
Patofisiologi

Virus masuk ke tubuh melalui luka (biasanya dari gigitan hewan buas) atau lewat membrana mucosa, bereplikasi di mycosit; menyebar ke jaringan ikat neuromusculer dan spindle neurotendineal; berjalan ke CNS lewat cairan intraaxonal dengan nervus perifer; menyebar keseluruhan ke CNS; akhirnya menyebar secara sentrifugal dengan motor perifer, sensori, dan neuron. Cara penularan melalui gigitan dan non gigitan (aerogen, transplantasi, kontak dengan bahan mengandung virus rabies pada kulit lecet atau mukosa). Cakaran oleh kuku hewan penular rabies adalah berbahaya karena binatang menjilati kuku-kukunya. Saliva yang ditempatkan pada permukaan mukosa seperti konjungtiva mungkin infeksius. Ekskreta kelelawar yang mengandung virus rabies cukup untuk menimbulkan bahaya rabies pada mereka yang masuk gua yang terinfeksi dan menghirup aerosol yang diciptakan oleh kelelawar.
Penularan rabies melalui transplan kornea dari penderita dengan ensefalitis rabies yang tidak didiagnosis pada resipen/penerima sehat telah direkam dengan cukup sering. Penularan dari orang ke orang secara teoritis mungkin tetapi kurang terdokumentasi dan jarang terjadi.
Luka gigitan biasanya merupakan tempat masuk virus melalui saliva, virus tidak bisa masuk melalui kulit utuh. Setelah virus rabies masuk melalui luka gigitan, maka selama 2 minggu virus tetap tinggal pada tempat masuk dan didekatnya, kemudian bergerak mencapai ujung-ujung serabut saraf posterior tanpa menunjukkan perubahan-perubahan fungsinya. Bagian otak yang terserang adalah medulla oblongata dan annon’s hoorn. Sesampainya di otak virus kemudian memperbanyak diri dan menyebar luas dalam semua bagian neuron, terutama mempunyai predileksi khusus terhadap sel-sel sistem limbik, hipotalamus dan batang otak. Setelah memperbanyak diri dalam neuron-neuron sentral, virus kemudian ke arah perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf volunter maupun saraf otonom. Dengan demikian virus ini menyerang hampir tiap organ dan jaringan didalam tubuh dan berkembang biak dalam jaringan- jaringan seperti kelenjar ludah, ginjal dan sebagainya. Gambaran yang paling menonjol dalam infeksi rabies adalah terdapatnya badan negri yang khas yang terdapat dalam sitoplasma sel ganglion besar
Masa Inkubasi
Masa inkubasi rabies pada anjing 10 – 15 hari, dan pada hewan lain 3-6 minggu kadang-kadang berlangsung sangat panjang 1-2 tahun. Masa inkubasi pada manusia yang khas adalah 1-2 bulan tetapi bisa 1 minggu atau selama beberapa tahun (mungkin 6 tahun atau lebih). Biasanya lebih cepat pada anak-anak dari pada dewasa. Kasus rabies manusia dengan periode inkubasi yang panjang (2 sampai 7 tahun) telah dilaporkan, tetapi jarang terjadi. Masa inkubasi bisa tergantung pada umur pasien, latar belakang genetik, status immun, strain virus yang terlibat, dan jarak yang harus ditempuh virus dari titik pintu masuknya ke susunan saraf pusat. Masa inkubasi tergantung dari lamanya pergerakan virus dari luka sampai ke otak, pada gigitan dikaki masa inkubasi kira-kira 60 hari, pada gigitan di tangan masa inkubasi 40 hari, pada gigitan di kepala masa inkubasi kira-kira 30 hari
Gejala Klinis Rabies Pada Hewan Dan Manusia
Gejala klinis pada hewan dibagi menjadi tiga stadium : 1. Stadium Prodromal
Keadaan ini merupakan tahapan awal gejala klinis yang dapat berlangsung antara 2-3 hari. Pada tahap ini akan terlihat adanya perubahan temperamen yang masih ringan. Hewan mulai mencari tempat-tempat yang dingin/gelap, menyendiri, reflek kornea berkurang, pupil melebar dan hewan terlihat acuh terhadap tuannya. Hewan menjadi sangat perasa, mudah terkejut dan cepat berontak bila ada provokasi. Dalam keadaan ini perubahan perilaku mulai diikuti oleh kenaikan suhu badan.
2. Stadium Eksitasi. Tahap eksitasi berlangsung lebih lama daripada tahap prodromal, bahkan dapat berlangsung selama 3-7 hari. Hewan mulai garang, menyerang hewan lain ataupun manusia yang dijumpai dan hipersalivasi. Dalam keadaan tidak ada provokasi hewan menjadi murung terkesan lelah dan selalu tampak seperti ketakutan. Hewan mengalami fotopobi atau takut melihat sinar sehingga bila ada cahaya akan bereaksi secara berlebihan dan tampak ketakutan.
3. Stadium Paralisis. Tahap paralisis ini dapat berlangsung secara singkat, sehingga sulit untuk dikenali atau bahkan tidak terjadi dan langsung berlanjut pada kematian. Hewan mengalami kesulitan menelan, suara parau, sempoyongan, akhirnya lumpuh dan mati.
Gejala klinis pada manusia dibagi menjadi empat stadium.
1. Stadium Prodromal. Gejala awal yang terjadi sewaktu virus menyerang susunan saraf pusat adalah perasaan gelisah, demam, malaise, mual, sakit kepala, gatal, merasa seperti terbakar, kedinginan, kondisi tubuh lemah dan rasa nyeri di tenggorokan selama beberapa hari.
2. Stadium Sensoris. Penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada tempat bekas luka kemudian disusul dengan gejala cemas dan reaksi yang berlebihan terhadap ransangan sensoris.
3. Stadium Eksitasi. Tonus otot-otot akan aktivitas simpatik menjadi meninggi dengan gejala berupa eksitasi atau ketakutan berlebihan, rasa haus, ketakutan terhadap rangsangan cahaya, tiupan angin atau suara keras. Umumnya selalu merintih sebelum kesadaran hilang. Penderita menjadi bingung, gelisah, rasa tidak nyaman dan ketidak beraturan.
Kebingungan menjadi semakin hebat dan berkembang menjadi argresif, halusinasi, dan selalu ketakutan. Tubuh gemetar atau kaku kejang.
4. Stadium Paralis. Sebagian besar penderita rabies meninggal dalam stadium eksitasi. Kadang-kadang ditemukan juga kasus tanpa gejala-gejala eksitasi, melainkan paresis otot-otot yang bersifat progresif. Hal ini karena gangguan sumsum tulang belakang yang memperlihatkan gejala paresis otot-otot pernafasan.
Epidemiologi Rabies
Rabies telah menyebabkan kematian pada orang dalam jumlah yang cukup banyak. Tahun 2000, World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa setiap tahun di dunia ini terdapat sekurang-kurangnya 50.000 orang meninggal karena rabies. Rabies bisa terjadi disetiap musim atau iklim, dan kepekaan terhadap rabies kelihatannya tidak berkaitan dengan usia, seks atau ras. Di Amerika Serikat rabies terutama terjadi pada musang, raccoon, serigala dan kelelawar. Rabies serigala terdapat di Kanada, Alaska dan New York. Kelelawar penghisap darah (vampir), yang menggigit ternak merupakan bagian penting siklus rabies di Amerika latin. Eropa mempunyai rabies serigala, di Asia dan Afrika masalah utamanya adalah anjing gila.
Beberapa daerah di Indonesia yang saat ini masih tertular rabies sebanyak 16 propinsi, meliputi Pulau Sumatera (Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Lampung), Pulau Sulawesi (Gorontalo, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara), Pulau Kalimantan (Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur) dan Pulau Flores. Kasus terakhir yang terjadi adalah Propinsi Maluku (Kota Ambon dan Pulau Seram). Provinsi DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat telah dinyatakan bebas dari rabies melalui SK Menteri Pertanian No. 566 Tahun 2004, Banten sejak tahun 1996, dan provinsi Jawa Barat sejak tahun 2001. Dengan diterbitkannya SK Mentan bebas rabies ini, maka seluruh pulau Jawa telah bebas rabies karena Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DI Yogyakarta telah lebih dahulu dibebaskan berdasarkan SK Mentan No. 897 Tahun 1997.
Daerah yang secara historis bebas rabies (belum pernah ada kasus) adalah provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur (kecuali Pulau Flores), Kalimantan Barat, Papua, Irian Jaya Barat, Maluku Utara, Kepulauan Riau dan Kepulauan Bangka Belitung dan sampai saat ini tetap dapat dipertahankan bebas rabies. Manusia yang menderita rabies selalu berakhir dengan kematian (100% Case Fatality Rate), gigitan oleh anjing menempati persentase tertinggi (99,4%) diikuti kucing (0,29%) dan hewan lain, kera dan hewan piaraan atau liar lainnya (0,31%). Bagian tubuh manusia yang digigit meliputi kepala (5%), tangan (28%), kaki(57%), lain-lain (10%).
Kejadian Rabies Dilapangan
Kejadian (kasus) positif rabies di lapangan dipengaruhi oleh
1) Pola Penggigitan. Ada 2 pola penggigitan oleh anjing terhadap manusia yaitu :
a. Penggigitan karena provokasi. Penggigitan yang terjadi disini didahului oleh adanya gangguan langsung atau tidak langsung. Pada anjing yang sedang beranak biasanya naluri untuk melindungi anaknya sangat kuat sehingga sangat mudah sekali anjing menyerang dan menggigit apalagi kalau diganggu. Bentuk-bentuk provokasi terhadap anjing sangat beragam dari mulai memukul, menyeret ekor sampai dengan menggoda anjing yang sedang tidur. Hal tersebut akan menstimulasi anjing untuk menggigit. Bahkan pada kejadian lain orang membawa makanan yang lewat didepan anjing yang sedang lapar dapat memicu terjadinya penggigitan.
b. Penggigitan tanpa provokasi. Dalam hal ini anjing menyerang dan menggigit secara tiba-tiba tanpa adanya gangguan dalam bentuk apapun. Dilapangan anjing yang menggigit secara tiba-tiba tadi biasanya sudah menjadi ”wandering-dog” atau anjing lontang-lantung yang berjalan tanpa tujuan dan menyerang serta menggigit siapa saja yang ditemuinya. Anjing tersebut biasanya adalah anjing liar atau anjing peliharaan yang ditelantarkan sehingga menjadi liar.
2) Pola Penyebaran. Penularan rabies di lapangan (rural rabies) berawal dari suatu kondisi anjing yang tidak dipelihara dengan baik atau anjing liar yang merupakan ciri khas yang ada di perdesaan yang berkembang dan sulit dikendalikan. Suatu kondisi yang sangat kondusif untuk menjadikan suatu daerah dapat bertahan menjadi daerah endemis. Secara alami yang sering terjadi pola penyebaran rabies. Pada umumnya manusia merupakan ”dead end” atau terminal akhir dari korban gigitan. Karena sampai saat ini belum ada kasus manusia
menggigit anjing. Baik anjing liar, anjing peliharaan yang menjadi liar maupun anjing peliharaan, setiap saat dapat menggigit manusia. Sementara itu anjing liar, anjing peliharaan yang menjadi liar dapat menggigit satu sama lain. Kalau salah satu diantara anjing yang menggigit tersebut positif rabies, maka akan terjadi kasus-kasus positif (+) rabies yang semakin tinggi.
3) Pembagian Status Daerah Rabies.
1. Daerah Bebas. Kriterianya :- Daerah yang secara historis tidak pernah ditemukan penyakit rabies. - Daerah yang tertular rabies tapi dalam 2 tahun terakhir tidak ada kasus secara klinis dan epidemiologis serta sudah dikonfirmasi secara laboratoris.
2. Daerah Tertular. Kriterianya : - Daerah yang dalam 2 tahun terakhir pernah ada kasus pada hewan dan manusia (baik secara berurutan atau tunggal) secara klinis epidemiologis dan dikonfirmasi secara laboratoris. Khusus untuk manusia kasusnya berasal dari daerah tersebut (bukan kasus import)
3. Daerah Tersangka. Kriterianya : - Daerah yang dalam 2 tahun terakhir ada kasus rabies secara klinis dan epidemiologis tapi belum dibuktikan secara laboratoris.
- Daerah yang berbatasan langsung dalam satu daratan dengan daerah tertular.
Pencegahan dan Pengendalian Rabies
A. Pencegahan Primer Rabies
a) Tidak memberikan izin untuk memasukkan atau menurunkan anjing, kucing, kera dan hewan sebangsanya di daerah bebas rabies.b) Memusnahkan anjing, kucing, kera atau hewan sebangsanya yang masuk tanpa izin ke daerah bebas rabies. c) Dilarang melakukan vaksinasi atau memasukkan vaksin rabies kedaerah-daerah bebas rabies. d) Melaksanakan vaksinasi terhadap setiap anjing, kucing dan kera, 70% populasi yang ada dalam jarak minimum 10 km disekitar lokasi kasus.
e) Pemberian tanda bukti atau pening terhadap setiap kera, anjing, kucing yang telah divaksinasi.
f) Mengurangi jumlah populasi anjing liar atan anjing tak bertuan dengan jalan pembunuhan dan pencegahan perkembangbiakan. g) Anjing peliharaan, tidak boleh dibiarkan lepas berkeliaran, harus didaftarkan ke Kantor Kepala Desa/Kelurahan atau Petugas Dinas Peternakan setempat.
h) Anjing harus diikat dengan rantai yang panjangnya tidak boleh lebih dari 2 meter. Anjing yang hendak dibawa keluar halaman harus diikat dengan rantai tidak lebih dari 2 meter dan moncongnya harus menggunakan berangus (beronsong). i) Menangkap dan melaksanakan observasi hewan tersangka menderita rabies, selama 10 sampai 14 hari, terhadap hewan yang mati selama observasi atau yang dibunuh, maka harus diambil spesimen untuk dikirimkan ke laboratorium terdekat untuk diagnosa. j) Mengawasi dengan ketat lalu lintas anjing, kucing, kera dan hewan sebangsanya yang bertempat sehalaman dengan hewan tersangka rabies.
k) Membakar dan menanam bangkai hewan yang mati karena rabies sekurang-kurangnya 1 meter.

B. Pencegahan Sekunder
Pertolongan pertama yang dapat dilakukan untuk meminimalkan resiko tertularnya rabies adalah mencuci luka gigitan dengan sabun atau dengan deterjen selama 5-10 menit dibawah air mengalir/diguyur. Kemudian luka diberi alkohol 70% atau Yodium tincture. Setelah itu pergi secepatnya ke Puskesmas atau Dokter yang terdekat untuk mendapatkan pengobatan sementara sambil menunggu hasil dari rumah observasi hewan. Resiko yang dihadapi oleh orang yang mengidap rabies sangat besar. Oleh karena itu, setiap orang digigit oleh hewan tersangka rabies atau digigit oleh anjing di daerah endemic rabies harus sedini mungkin mendapat pertolongan setelah terjadinya gigitan sampai dapat dibuktikan bahwa tidak benar adanya infeksi rabies.
C. Pencegahan Tersier
Tujuan dari tiga tahapan pencegahan adalah membatasi atau menghalangi perkembangan ketidakmampuan, kondisi, atau gangguan sehingga tidak berkembang ke tahap lanjut yang membutuhkan perawatan intensif yang mencakup pembatasan terhadap ketidakmampuan dengan menyediakan rehabilitasi. Apabila hewan yang dimaksud ternyata menderita rabies berdasarkan pemeriksaan klinis atau laboratorium dari Dinas Perternakan, maka orang yang digigit atau dijilat tersebut harus segera mendapatkan pengobatan khusus (Pasteur Treatment) di Unit Kesehatan yang mempunyai fasilitas pengobatan Anti Rabies dengan lengkap.
Pengendalian
a. Aturan Perundangan. Upaya pencegaan dan pengendalian rabies telah dilakukan sejak lama, di Indonesia dilaksanakan melalui kegiatan terpadu secara lintas sektoral antara lain dengan adanya Surat Keputusan Bersama 3 Menteri yaitu Menteri Kesehatan, Menteri Pertanian, dan Menteri Dalam Negeri No: 279A/MenKes/SK/VIII/1978; No: 522/Kpts/Um/8/78; dan No: 143/tahun1978. Penerapan aturan perundangan ini perlu ditegakkan, agar pelaksanaan di lapangan lebih efektif dan secara tegas memberikan otoritas kepada pelaksana untuk melakukan kewajibannya sesuai dengan aturan perundangan yang ada, baik tingkat nasional, tingkat kawasaan, maupun tingkat lokal.
b. Surveilans. Pelaksanaan surveilans untuk rabies merupakan dasar dari semua program dalam rangka pengendalian penyakit ini. Data epidemiologi harus dikumpulkan sebaik mungkin, dianalisis, dipetakan, dan bila mungkin segera didistribusikan secepat mungkin. Informasi ini juga penting untuk dasar perencanaan, pengorganisasian, dan pelaksanaan program pengendalian.
c. Vaksinasi Rabies. Untuk mencegah terjadinya penularan rabies, maka anjing, kucing, atau kera dapat diberi vaksin inaktif atau yang dilemahkan (attenuated). Untuk memperoleh kualitas vaksin yang efektif dan efisien, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, baik vaksin yang digunakan bagi hewan maupun bagi manusia, yakni :
·             Vaksin harus dijamin aman dalam pemakaian.
·             Vaksin harus memiliki potensi daya lindung yang tinggi.
·             Vaksin harus mampu memberikan perlindungan kekebalan yang lama.
·             Vaksin arus mudah dalam cara aplikasinya.
·             Vaksin harus stabil dan menghasilkan waktu kadaluwarsa yang lama.
·             Vaksin harus selalu tersedia dan mudah didapat sewaktu-waktu dibutuhkan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Anonimus(1). 2010. Rabies di Indonesia : Usulan Tindakan Pengendalian ; http://kafeungu.blogspot.com/2009/11/rabies-di-indonesia-usulan-tindakan.html
2. Anonimus(2).2010. Penyakit Rabies; http://id.shvoong.com/exact-sciences/veterinary/2027648-rabies/
3. Anonimus(3). 2010. Artikel Pets Animals Penyakit Rabies; http://www.vet-klinik.com/pets-Animals/Penyakit-rabies.html
4. Anonimus(5).2010. Penyakit Anjing Gila (Rabies), Sumber : Suku Dinas Peternakan dan Perikanan Kodya Jakarta Pusat; http://www.indoforum.org/archive/index.php/t-11437.html
5. Anonimus(6).2010. 24 Provinsi Endemik Rabies; Kompas;
http://health.kompas.com/read/2010/09/16/03552388/24.Provinsi.Endemik.Rabies
6. Anonimus(7).2010. Anjing Gila, Pengertian, Sejarah, Penyebab, Cara Mengatasi;http://ridwanaz.com/kesehatan/anjing-gila-pengertian-sejarah-penyebab-cara-mengatasi
7. Anonimus(8).2010. Rabies Ancam DKI, Ribuan Hewan Divaksinasi;
http://metro.vivanews.com/news/read/185922-jakarta-cegah-rabies-ribuan-hewan divaksinasi
8. Anonimus (7) Rabies ; http://id.wikipedia.org/wiki/Rabies/
9. Anonimus (8), 2004. Pedoman Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Hewan Menular Seri Penyakit Rabies. Direktorat Kesehatan Hewan. Direktorat Jenderal Peternakan. DepartemenPertanian.
10. Anonimus (9). 2006. Evaluasi Program Pembebasan Rabies di Pulau Sumatera. Makalah Pertemuan Tim Koordinasi Rabies Se Sumatera di Bengkulu. Direktorat Kesehatan Hewan. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian.
11. Anonimus (10). 2006. Situasi dan Kebijakan Program Pembebasan Rabies di Indonesia. Makalah Pertemuan Tim Koordinasi Rabies Se-Sumatera di Bengkulu. Ditjen PP & PL. DepartemenKesehatan.
12. Ditjen PPMPL Depkes RI. 2002. Petunjuk perencanaan dan Penatalaksanaan kasus gigitan Hewan tersangka / rabies Di indonesia
13. J. Frank, Fenner. 1987. Veterinary Virologi. [ D. K. Harya Putra, K. G. Suaryana]. Semarang: IKIP Semarang Press. 257:279
14. Maharis R., Natih K.K.N., soedijar r. L., Hermawan D., dan Nuryani N. 2007. Pengkajian Mutu Vaksin Rabies di 12 Propinsi di Indonesia. Buletin Pengujian Mutu Obat Hewan No. I 2. Balai Besar Penguj ian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan.
15. Moedijono G.M. 1996. Vaksin Anti Rabies, Potensi, Imunitas dan Evaluasi Hasil Vaksinasi di Lapangan. Buletin Pengujian Mutu Obat Hewan No. 5.
16. Menuju Sumatra Bebas Rabies Tahun 2015; http://www.bkpcilegon.com/cetak.php?id=50
17. OIE; 2007; OIE Procedure for Validation and Certification of Diagnostic Assay
18. Pengobatan, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan;
http://www.civas.net/content/pengobatan-pencegahan-pengendalian-dan-pemberantasan
19. Perda Nomor 11 DKI Jakarta Tahun 1995 tentang Pengawasan Hewan Rentan Rabies, Serta Pencegahan dan Penaggulangan Rabies di Daerah Khusus Ibukota Jakarta
20. Smith, Jean S; 1996; New Aspects of Rabies with Emphasis on Epidemiology, Diagnosis and Prevention of the Disease in the United States; Clinical Microbiology Reviews Vol. 9, No.2.
21. Soeharsono. 2002. Zoonosis. Jogjakarta: Kanisius. 67:72
22. Sudomo, Agung; Kusuma, Megasari; Maryuni, Vivi. IPB. 2009. Program Kreativitas Mahasiswa. Pemanfaatan Habbatus Sauda Untuk Terapi Penunjang Pencegah Rabies Pada Anjing
23. Schnurrenberger, R. Paul.1991. An Outline of the Zoonoses.Alabama: The Iowa State University Press. 60:63
24. Tizard, Ian. 1988. Immunologi Veteriner Ed. 2. Surabaya: Penerbit Universitas Airlangga. 203:206, 224:232

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIAS

Validitas Eksternal

Pengantar Surveilans Epidemiologi Kesehatan dan Keselamatan Kerja