Analisis Faktor Risiko Lingkungan Penularan Leptospirosis di Indonesia



Pendahuluan
Leptospirosis merupakan penyakit hewan yang disebabkan oleh beberapa bakteri dari golongan leptospira yang berbentuk spiral kecil disebut spirochaeta. Bakteri ini dengan flagellanya dapat menembus kulit atau mukosa manusia normal. Penyakit leptospira tersebar terutama di daerah tropis dan subtropis, khususnya di daerah berawa-rawa atau pasca banjir. Infeksi bakteri ini dapat menyebabkan penyakit dengan gejala dari yang ringan seperti penyakit flu biasa sampai yang berat atau menimbulkan sindrom termasuk penyakit kuning (ikterus) berat, sindrom perdarahan (perdarahan paru paling sering menyebabkan kegawatan), gagal ginjal sampai menyebabkan kematian. Penyakit ini juga dikenal sebagai penyakit yang berhubungan dengan rekreasi, terutama yang berhubungan dengan air seperti berenang di sungai. Kejadian bencana alam seperti banjir besar juga memungkinkan banyak orang terinfeksi.
International Leptospirosis Society (ILS) menjelaskan bahwa Indonesia Indonesia adalah negara dengan insiden leptospirosis no 3 di dunia untuk mortalitas. Secara umum di Indonesia angka kematian leptospirosis mencapai 2,5% - 16,45% atau rata-rata 7,1%. Angka ini dapat mencapai 56% pada penderita berusia 50 tahun ke atas. Tahun 1998-1999 di Jakarta ditemukan 51 orang penderita leptospirosis. Tahun 2002 ditemukan lebih dari 100 orang penderita leptospirosis dan 7 penderita diantaranya meninggal dunia. Tahun 2004 di daerah yang sama pasca banjir terindikasi 44 kasus leptospirosis dan 4 penderita diantaranya meninggal dunia, dan tahun 2005 ditemukan 7 kasus leptospirosis. Hasil pendataan dari Rumah Sakit yang ada di Kota Semarang pada tahun 2002 dilaporkan 3 penderita dan 1 orang meninggal (Case Fatality Rate (CFR)= 33,33%). Tahun 2003 dilaporkan terdapat 12 penderita dan 2 orang meninggal (CFR=16,67%). Tahun 2004 terdapat 37 penderita dan 13 orang meninggal (CFR=35,14%), tahun 2005 terdapat 19 penderita dan 3 orang meninggal (CFR=15,79%), tahun 2006 terdapat 26 penderita dan 7 orang meninggal (CFR=26,92%) dan tahun 2007 ditemukan 9 penderita dengan 1 orang meninggal (CFR=11,11%).
Kasus Leptospirosis di kedua kota tersebut masih tinggi CFR nya ditambah lagi kedua daerah tersebut juga merupakan daerah rawan banjir sehingga ketika banjir kasus leptospirosis akan menjadi lebih banyak lagi. Berdasarkan hasil laporan kasus diatas maka tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor risiko lingkungan penularan leptospirosis di Indonesia.

Gejala Klinis
Leptospirosis disebabkan oleh kontaminasi (kontak dengan) spirochaeta yang dapat ditemukan dalam air yang terkontaminasi air kencing hewan. Ini biasanya terjadi pada daerah beriklim tropis.

  1.  Masa inkubasi 2 sampai 26 hari (rata-rata 10 hari)
  2. Demam tiba-tiba, menggigil, nyeri otot dan nyeri kepala merupakan gejala awal.
  3. Mual, muntah dan diare dialami oleh 50% kasus
  4. Batuk kering dialami oleh 25-35 % kasus
  5. Nyeri sendi, nyeri tulang, sakit tenggorokan dan sakit perut dapat juga dijumpai tetapi agak jarang
  6. Pendarahan conjuctiva merupakan tanda khas penyakit ini pada fase leptospira beredar di dalam darah penderita
  7. Pada fase ke dua atau fase imunitas, menjadi asimtomatis; demam tidak terlalu tinggi, nyeri otot dan gejala gangguan saluran pencernaan menjadi ringan
  8. Gejala meningitis merupakan tanda khas fase kedua (50%).

Etiologi
Leptospirosis disebabkan oleh bakteri Leptospira yang berbentuk spiral, tipis, lentur dengan panjang 10-20 tm dan tebal 0,1 gin serta memiliki dua lapis membran. Kedua ujungnya mempunyai kait berupa flagelum periplasmik. Bergerak aktif maju mundur dengan gerakan memutar sepanjang sumbunya. Bentuk dan gerakannya dapat dilihat dengan mikroskop medan gelap atau mikroskop fase kontras. Leptospira peka terhadap asam dan dapat hidup di dalam air tawar selama kurang lebih satu bulan, tetapi di dalam air laut, air selokan dan air kemih yang tidak diencerkan akan cepat mati.

Riwayat Alamiah Penyakit Leptospirosis
Leptospirosis dapat terjadi dengan berbagai manifestasi klinis dari mulai flu ringan sampai penyakit yang serius. Manisfestasi klinis berkisar mulai dari keluhan/gejala yang ringan saja seperti demam yang tak begitu tinggi, keluhan mirip influenza sampai kepada munculnya gejala yang berat bahkan berakibat fatal, sebagaimana yang dikenal sebagai Weil disease, meskipun hal ini jarang terjadi. Perlu diingat bahwa kebanyakan leptospirosis tidaklah selamanya muncul sebagai penyakit yang berat, dan pendapat kuno yang mengatakan bahwa leptospirosis itu sinonim/identik dengan Weil disease sesungguhnya keliru.
Masa inkubasi penyakit ini pada manusia adalah berkisar antara 7-12 hari, rata-rata 10 hari. Menurut berat ringannya, leptospirosis dibagi menjadi ringan dan berat, tetapi untuk pendekatan diagnosis klinis dan penanganannya, para ahli lebih senang membagi penyakit ini menjadi leptospirosis anikterik (non-ikterik) dan leptospirosis ikterik. Leptospira interrogans serovar icterohaemorhagiae pada awalnya dianggap sebagai penyebab leptospirosis berat tetapi ternyata leptospirosis ikterik ini tidak secara spesifik disebabkan oleh serovar Leptospira tertentu.
Dalam fase leptospiremi akan dijumpai leptospira dalam darah, timbul keluhan sakit kepala, suhu badan meningkat sampai menggigil, nyeri otot hebat terutama pada paha, betis dan lumbal yang diikuti hiperestesia. Beberapa penderita mengeluh nafsu makan berkurang, mual, muntah dan diare. Keluhan batuk dan sakit dada dijumpai hampir semua kasus, sedangkan batuk darah sangat jarang ditemukan. Tanda fisik yang dianggap khas adalah conjuctiva suffusion, pertama kali timbul pada hari ke 3 atau 4, yang disertai skera mata berwarna kuning dan adanya photofobia.
Tanda lain berupa kemerahan pada kulit berbentuk macula, makulo papulo ataupun urtikaria dan perdarahan kulit. Dua puluh lima persen kasus dijumpai penurunan kesadaran, brakikardi, hipotensi dan oliguri, yang kadang juga dijumpai splenomegali, hepatomegali, limfadenopatia. Fase leptospiremia tersebut berlangsung 4-9 hari dan biasanya berakhir dengan menghilangnya seluruh gejala dan tanda klinik untuk sementara sekitar 2-3 hari. Pada fase imun, ditandai dengan munculnya kembali gejala demam yang tidak melebihi 39°C, berlangsung selama 1-3 hari, kadang disertai meningismus, dan timbulnya antibodi IgM dalam sirkulasi. Pada fase ini kadang dijumpai juga adanya iridosiklitis, neuritis optik, mielitis, ensefalitis serta neuropati perifer.
Pada fase berikutnya, yaitu fase penyembuhan terjadi perbaikan klinik yang ditandai pulihnya kesadaran, hilangnya ikterus, tekanan darah meningkat dan produksi urine membaik. Fase ini terjadi pada minggu ke 2-4, sedangkan patogenesis fase ketiga ini masih belum diketahui, demam serta nyeri otot masih dijumpai, yang kemudian berangsur-angsur menghilang.

Faktor Risiko Lingkungan Leptospirosis
Perubahan komponen lingkungan yang memiliki potensi bahaya kesehatan masyarakat pada kejadian leptospirosis ini meliputi: lingkungan fisik seperti keberadaan sungai yang membanjiri lingkungan sekitar rumah, keberadaan parit/selokan yang airnya tergenang, keberadaan genangan air, keberadaan sampah, keberadaan tempat pengumpulan sampah, jarak rumah dengan sungai, jarak rumah dengan parit/selokan, jarak rumah dengan tempat pengumpulan sampah, sumber air yang digunakan untuk mandi/mencuci dan lingkungan biologik seperti keberadaan tikus ataupun wirok di dalam dan sekitar 

1.      Keberadaan Sungai Yang Membanjiri Lingkungan Sekitar Rumah.
Keberadaan sungai menjadikannya sebagai media untuk menularkan berbagai jenis penyakit termasuk penyakit leptospirosis. Peran sungai sebagai media penularan penyakit leptospirosis terjadi ketika air sungai terkontaminasi oleh urin tikus atau hewan peliharaan yang terinfeksi bakteri leptospira sehingga cara penularannya disebut Water-Borne Infection.
Kotoran yang berasal dari hewan dan orang yang mengandung bakteri dan virus dapat dihanyutkan dalam sungai-sungai dan biasa terdapat dalam tanki-tanki tinja di desa dan bisa juga berada di dalam sumur-sumur atau mata air yang tidak terlindungi. Menurut Johnson M.A. et.al (2004), tempat tinggal yang dekat dengan sungai mempunyai risiko 1,58 kali lebih tinggi terkena leptospirosis (OR=1,58; 95%C.I: 1,07-2,32)

2.      Keberadaan Parit/Selokan Yang Tergenang Air.
Parit/Selokan menjadi tempat yang sering dijadikan tempat tinggal tikus atau wirok serta sering juga dilalui oleh hewan-hewan peliharaan yang lain sehingga parit/selokan ini dapat menjadi media untuk menularkan penyakit leptospirosis. Peran parit/selokan sebagai media penularan penyakit leptospirosis terjadi ketika air yang ada di parit/selokan terkontaminasi oleh urin tikus atau hewan peliharaan yang terinfeksi bakteri leptospira.
Kondisi selokan yang banjir selama musim hujan mempunyai risiko 4 kali lebih tinggi terkena leptospirosis (OR=4,21; 95%C.I: 1,51-12,83) dan tempat tinggal yang dekat dengan selokan air mempunyai risiko 5 kali lebih tinggi terkena leptospirosis (OR=5,15; 95%C.I: 1,80-14,74).

3.      Genangan Air.
Air tergenang seperti yang selalu dijumpai di negeri-negeri beriklim sedang pada penghujung musim panas, atau air yang mengalir lambat, memainkan peranan penting dalam penularan penyakit leptospirosis. Tetapi di rimba belantara yang airnya mengalir deras pun dapat merupakan sumber infeksi.
Biasanya yang mudah terjangkit penyakit leptospirosis adalah usia produktif dengan karakteristik tempat tinggal: merupakan daerah yang padat penduduknya, banyak pejamu reservoar, lingkungan yang sering tergenang air maupun lingkungan kumuh. Tikus biasanya kencing di genangan air. Lewat genangan air inilah bakteri leptospira akan masuk ke tubuh manusia.

4.      Sampah
Adanya kumpulan sampah di rumah dan sekitarnya akan menjadi tempat yang disenangi tikus. Kondisi sanitasi yang jelek seperti adanya kumpulan sampah dan kehadiran tikus merupakan variabel determinan kasus leptospirosis. Adanya kumpulan sampah dijadikan indikator dari kehadiran tikus.

5.      Sumber Air
a)      Air Hujan
Air hujan merupakan penyubliman awan/uap air menjadi air murni yang ketika turun dan melalui udara akan melarutkan benda-benda yang terdapat di udara. Di Amerika Tengah dan Amerika Selatan, sebagai dampak fenomena El-Nino menyebabkan curah hujan menjadi tinggi dan menyebabkan banjir. Oleh karena adanya banjir tersebut menyebabkan jumlah kejadian leptospirosis meningkat.
b)      Air Permukaan
Air permukaan merupakan salah satu sumber yang dapat dipakai untuk bahan baku air bersih. Dalam menyediakan air bersih terutama untuk air minum, dalam sumbernya perlu diperhatikan tiga segi yang penting yaitu: mutu air baku, banyaknya air baku, dan kontinuitas air baku. Dibandingkan dengan sumber lain, air permukaan merupakan sumber air yang tercemar benar. Keadaan ini terutama berlaku bagi tempat-tempat yang dekat dengan tempat tinggal penduduk. Hampir semua buangan dan sisa kegiatan manusia dilimpahkan kepada air atau dicuci dengan air, dan pada waktunya akan dibuang ke dalam badan air permukaan. Di samping manusia, fauna dan flora juga turut mengambil bagian dalam mengotori air permukaan. Jenis-jenis sumber air yang termasuk ke dalam air permukaan adalah air yang berasal dari Sungai, Selokan, Rawa, Parit, Bendungan, Danau, Laut, dan sebagainya.
c)       Air Tanah
Sebagian air hujan yang mencapai permukaan bumi akan menyerap ke dalam tanah dan akan menjadi air tanah. Sebelum mencapai lapisan tempat air tanah, air hujan akan menembus beberapa lapisan tanah sambil berubah sifatnya. Menurut David, A. et al (2000), sumber air untuk rumah tangga yang berasal dari sumur gali mempunyai risiko 1,9 kali lebih tinggi terkena leptospirosis (OR=1,9; 95%C.I: 1,1-3,5), sumber air untuk rumah tangga yang berasal dari sungai mempunyai risiko 1,4 kali lebih tinggi terkena leptospirosis (OR=1,4; 95%C.I: 1,1-1,9).

6.      Jarak Rumah Dengan Tempat Pengumpulan Sampah
Tikus senang berkeliaran di tempat sampah untuk mencari makanan. Jarak rumah yang dekat dengan tempat pengumpul sampah mengakibatkan tikus dapat masuk ke rumah dan kencing di sembarang tempat. Jarak rumah yang kurang dari 500 meter dari tempat pengumpulan sampah menunjukkan kasus leptospirosis lebih besar dibanding yang lebih dari 500 meter.

7.      Populasi Tikus Di Dalam Dan Di Luar Rumah
Kondisi lingkungan rumah sangat erat kaitannya dengan keberadaan tikus yang sudah terbukti sebagai reservoir alami leptospirosis. Kondisi rumah sehat adalah rumah dengan kondisi dinding rumah dan dapur dari tembok, lantai bukan tanah, ada ventilasi, kondisi pintu dapat menutup rapat, terdapat langit-langit serta jendela yang kondisinya dapat menutup rapat. Uji statistik menunjukkan rumah yang tidak sehat berhubungan secara signifikan dengan kejadian leptospirosis.
Dinding rumah biasanya digunakan tikus untuk lalu lintas masuk ke dalam rumah. Menurut Ristiyanto dinding rumah bukan tembok bukan sebagai faktor resiko kejadian leptospirosis. Dinding yang digunakan sebagai tempat berlindung dan lalu lintas tikus (reservoir leptospirosis) biasanya kondisi kering, dan dinding rumah pada umumnya dicat/kapur, kemungkinan bukan media yang baik bagi kehidupan bakteri Leptospira dari air
kencing tikus.  Menurut Widarso dkk. media perkembangan bakteri leptospira yang sesuai adalah lembab atau berair. Kondisi lantai rumah sebagian besar masih tanah merupakan tempat yang potensial untuk kehidupan bakteri leptospira.
Bakteri leptospira ini mampu bertahan hidup bulanan di air dan tanah, dan mati oleh desinfektans seperti lisol. Maka upaya "lisolisasi" pada lantai yang bukan tanah/plester, seluruh permukaan lantai, dinding, dan bagian rumah yang diperkirakan tercemar air kotor banjir yang mungkin sudah berkuman leptospira, dianggap cara mudah dan murah mencegah "mewabah"-nya leptospirosis. Dinding yang terbuat dari triplek
atau bambu lebih mudah digunakan untuk lalu lintas tikus.
Biasanya dapur tempat yang paling disukai oleh tikus untuk bersarang, dimana banyak terdapat bahan makanan, sehingga kemungkinan barang-barang yang ada di dapur terkontaminasi air kencing tikus sangat besar. Untuk mencegahnya biasakan membasuh tangan sehabis menangani hewan, ternak, atau membersihkan gudang, dapur, dan tempat-tempat kotor.
Rumah responden sebagian besar dilengkapi dengan langit-langit, yang merupakan tempat yang aman bagi tikus untuk bersarang, karena jauh dari jangkauan manusia. Tidak adanya langit-langit akan memudahkan tikus untuk masuk dan mencari pakan di dalam rumah. Hasil penelitian Mari Okatini yang menyebutkan bahwa kondisi plafon rumah yang tidak memenuhi syarat tidak berhubungan dengan timbulnya kejadian leptospirosis.
Kondisi sanitasi rumah yang baik meliputi adanya tempat sampah, kondisi tempat sampah yang tertutup, frekuensi pembuangan setiap hari,penataan perabotan rumah tangga tersusun rapi, adanya saluran dan penampungan air limbah. Kondisi sanitasi rumah tempat tinggal secara statistik tidak berhubungan dengan kejadian leptospirosis. Kebersihan rumah pada umumnya berhubungan dengan pengelolaan sampah rumah tangga atau bahan yang tidak digunakan ataupun terbuang, baik sampah padat (refuse). Sampah mudah busuk (garbage) dan sampah tidak mudah busuk (rubbish). Hampir semua responden mempunyai tempat sampah didalam rumah, meskipun sebagian besar dalam kondisi terbuka akan tetapi frekuensi membuang sampah ke tempat pembuangan akhir rutin dilakukan setiap hari, sehingga tidak terjadi penimbunan sampah di dalam rumah, yang dapat mengundang tikus masuk. Hasil penelitian ini berbeda dengan Priyanto yang mengatakan bahwa ada hubungan antara adanya sampah didalam rumah dengan kejadian leptospirosis (p-value=0,000) dan beresiko untuk terpapar sebesar 8,46 kali dibandingkan dengan rumah yang didalamnya
tidak terdapat sampah. Rumah yang kurang bersih merupakan faktor resiko terpapar leptospirosis (OR=3,61). Sisa makanan (sampah) merupakan sumber pakan tikus (inang reservoir leptospirosis), sehingga keberadaan sampah di dalam dan luar rumah dapat meningkatkan kontak tikus dan penduduk.
Rumah dengan penataan perabot yang berserakan cenderung kebersihan rumahnya
kurang yang berarti banyak ditemukan sampahsampah disekitaraya. Barang-barang yang tidak tertata dengan rapi dapat menjadi tempat persembunyian tikus.

8.      Kondisi Tempat Bekerja
Leptospirosis dianggap sebagai penyakit yang berkaitan dengan pekerjaan. Namun demikian, cara pengendalian tikus yang diperbaiki dan standar kebersihan yang lebih baik akan mengurangi insidensi di antara kelompok pekerja seperti penambang batu bara dan individu yang bekerja di saluran pembuangan air kotor. Pola epidemiologis sudah berubah; di Amerika Serikat, Inggris, Eropa dan Israel, leptospirosis yang berhubungan dengan ternak dan air paling umum.
Kurang dari 20 persen pasien yang mempunyai kontak langsung dengan binatang; mereka terutama petani, penjerat binatang atau pekerja pemotongan hewan. Pada sebagian besar pasien, pemajanan terjadi secara kebetulan, dua per tiga kasus terjadi pada anak-anak, pelajar atau ibu rumah tangga. Kondisi tempat bekerja yang selalu berhubungan dengan air dan tanah serta hewan dapat menjadi salah satu faktor risiko terjadinya proses penularan penyakit leptospirosis. Air dan tanah yang terkontaminasi urin tikus ataupun hewan lain yang terinfeksi leptospira menjadi mata rantai penularan penyakit leptospirosis.

9.      Keberadaan Hewan Peliharaan Sebagai Hospes Sementara
Leptospira juga terdapat pada binatang piaraan seperti anjing, lembu, babi, kerbau dan lain-lain maupun binatang liar seperti tikus, musang, tupai dan sebagainya. Di dalam tubuh binatang tadi yang bertindak sebagai hospes reservoar, mikroorganisme leptospira hidup di dalam ginjal/air kemih.
Dari hewan peliharaan dapat diisolasi L. intterogans var. Pomona dan L. intterogans var. Javanica oleh Esseveld dan Colier 1938 kucing di Jawa. Kemudian Mochtar dan Cilier secara serologis menemukan L. intterogans var. Bataviae, L. intterogans var. Javanica, L. intterogans var. Icterohaemorrhagiae dan L. intterogans var. Canicola pada anjing di Jakarta. Hewan ternak seperti sapi, kerbau, kuda, dan babi dapat ditemukan serovar L. intterogans var. Pomona, juga didapatkan 12 serovar lainnya.
Di sebagian besar negara tropis termasuk negara berkembang kemungkinan paparan leptospirosis terbesar pada manusia karena terinfeksi dari binatang ternak, binatang rumah maupun binatang liar.

10.          Sistem Distribusi Air Bersih
Sistem distribusi air bersih dengan saluran tertutup dapat menghambat penularan penyakit leptospirosis dari binatang ke manusia karena apabila pelayanan sistem distribusi air bersih secara tertutup ini tidak tersedia dapat meningkatkan kontaminasi atau pencemaran air yang digunakan untuk konsumsi manusia.

11.          Sistem Pembuangan Air Limbah

Keberadaan bak pencucian pembuangan kotoran yang terbuka dan keberadaan kotoran dalam rumah dapat meningkatkan gangguan setempat oleh binatang pengerat. Kondisi-kondisi itu juga memberikan kemungkinan kontak baik langsung maupun tidak langsung dengan kotoran hewan yang terkontaminasi

Simpulan
Berdasarkan hasil pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi leptospirosis adalah keberadaan sungai yang membanjiri lingkungan sekitar rumah, keberadaan parit/selokan yang tergenang air,  genangan air, sampah, sumber air, jarak rumah dengan tempat sampah, populasi tikus di dalam dan diluar rumah, kondisi tempat bekerja, keberadaan hewan peliharaan sebagai hospes sementara, sistem distribusi air bersih dan sistem pembuangan air limbah.  

Daftar Pustaka
  1. Bambang Y, 2008, Epidemiologi Leptospirosis di Kota Semarang (Tahap I)
  2. Dharmojono,H., 2001. 15 Penyakit Menular dari Binatang ke Manusia, Milenium Publisher, Jakarta: 99-110
  3.  Mari Okatini, Rachmadhi Purwana, I. Made Djaja, Hubungan Faktor Lingkungan Dan Karakteristik Individu Terhada Kejadian Leptospirosis Di Jakarta 2003-2005.
  4. Priyanto, Agus,2008, Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian leptospirosis (studi kasus di Kabupaten Demak).
  5. Ramadhani, Tri dan Bambang Yunianto, 2010, Kondisi Lingkungan Pemukiman Yang Tidak Sehat Berisiko Terhadap Kejadian Leptospirosis (Studi Kasus Di Kota Semarang). Suplemen Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Volume XX Tahun 2010.
  6. Ristiyanto,dkk, Studi Epidemiologi Leptospirosis Di Dataran Rendah Kabupaten Demak Jawa Tengah 
  7. Suratman. 2006. Analisis Faktor Risiko Lingkungan Dan Perilaku Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Leptospirosis Berat Di Kota Semarang (Studi Kasus Leptospirosis Yang Dirawat Di Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang). Tesis. Universitas Diponegoro
  8. Widarso, H.S, dan Purba W., 2002, Kebijaksanaan Departemen Kesehatan dalam Penanggulangan Leptospirosis di Indonesia, Kumpulan Makalah Simposium Leptospirosis, Semarang, 3 Agustus 2002
  9. Wiharyadi D. Faktor-faktor risiko leptospirosis di kota semarang. Tesis. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Undip Semarang. 2004.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIAS

Validitas Eksternal

Pengantar Surveilans Epidemiologi Kesehatan dan Keselamatan Kerja