Analisis Faktor Risiko Lingkungan Penularan Leptospirosis di Indonesia
Pendahuluan
Leptospirosis
merupakan penyakit hewan yang disebabkan oleh beberapa bakteri dari golongan leptospira yang berbentuk spiral kecil
disebut spirochaeta. Bakteri ini
dengan flagellanya dapat menembus kulit atau mukosa manusia normal. Penyakit
leptospira tersebar terutama di daerah tropis dan subtropis, khususnya di
daerah berawa-rawa atau pasca banjir. Infeksi bakteri ini dapat menyebabkan
penyakit dengan gejala dari yang ringan seperti penyakit flu biasa sampai yang
berat atau menimbulkan sindrom termasuk penyakit kuning (ikterus) berat, sindrom perdarahan (perdarahan paru paling sering
menyebabkan kegawatan), gagal ginjal sampai menyebabkan kematian. Penyakit ini
juga dikenal sebagai penyakit yang berhubungan dengan rekreasi, terutama yang
berhubungan dengan air seperti berenang di sungai. Kejadian bencana alam
seperti banjir besar juga memungkinkan banyak orang terinfeksi.
International
Leptospirosis Society (ILS) menjelaskan bahwa Indonesia Indonesia
adalah negara dengan insiden leptospirosis no 3 di dunia untuk
mortalitas. Secara umum di Indonesia angka kematian leptospirosis
mencapai 2,5% - 16,45% atau rata-rata 7,1%. Angka ini dapat mencapai
56% pada penderita berusia 50 tahun ke atas. Tahun 1998-1999 di Jakarta
ditemukan 51 orang penderita leptospirosis. Tahun 2002 ditemukan lebih
dari 100 orang penderita leptospirosis dan 7 penderita diantaranya
meninggal dunia. Tahun 2004 di daerah yang sama pasca banjir terindikasi
44 kasus leptospirosis dan 4 penderita diantaranya meninggal dunia,
dan tahun 2005 ditemukan 7 kasus leptospirosis. Hasil pendataan dari Rumah Sakit yang ada di Kota Semarang pada tahun
2002 dilaporkan 3 penderita dan 1 orang meninggal (Case Fatality Rate (CFR)=
33,33%). Tahun 2003 dilaporkan terdapat 12 penderita dan 2 orang meninggal (CFR=16,67%).
Tahun 2004 terdapat 37 penderita dan 13 orang meninggal (CFR=35,14%), tahun
2005 terdapat 19 penderita dan 3 orang meninggal (CFR=15,79%), tahun 2006
terdapat 26 penderita dan 7 orang meninggal (CFR=26,92%) dan tahun 2007
ditemukan 9 penderita dengan 1 orang meninggal (CFR=11,11%).
Kasus
Leptospirosis di kedua kota tersebut masih tinggi CFR nya ditambah lagi kedua
daerah tersebut juga merupakan daerah rawan banjir sehingga ketika banjir kasus
leptospirosis akan menjadi lebih banyak lagi. Berdasarkan hasil laporan kasus
diatas maka tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor
risiko lingkungan penularan leptospirosis di Indonesia.
Gejala Klinis
Leptospirosis
disebabkan oleh kontaminasi (kontak dengan) spirochaeta
yang dapat ditemukan dalam air yang terkontaminasi air kencing hewan. Ini
biasanya terjadi pada daerah beriklim tropis.
- Masa inkubasi 2 sampai 26 hari (rata-rata 10 hari)
- Demam tiba-tiba, menggigil, nyeri otot dan nyeri kepala merupakan gejala awal.
- Mual, muntah dan diare dialami oleh 50% kasus
- Batuk kering dialami oleh 25-35 % kasus
- Nyeri sendi, nyeri tulang, sakit tenggorokan dan sakit perut dapat juga dijumpai tetapi agak jarang
- Pendarahan conjuctiva merupakan tanda khas penyakit ini pada fase leptospira beredar di dalam darah penderita
- Pada fase ke dua atau fase imunitas, menjadi asimtomatis; demam tidak terlalu tinggi, nyeri otot dan gejala gangguan saluran pencernaan menjadi ringan
- Gejala meningitis merupakan tanda khas fase kedua (50%).
Etiologi
Leptospirosis
disebabkan oleh bakteri Leptospira yang
berbentuk spiral, tipis, lentur dengan panjang 10-20 tm dan tebal 0,1 gin serta
memiliki dua lapis membran. Kedua ujungnya mempunyai kait berupa flagelum periplasmik. Bergerak aktif
maju mundur dengan gerakan memutar sepanjang sumbunya. Bentuk dan gerakannya
dapat dilihat dengan mikroskop medan gelap atau mikroskop fase kontras. Leptospira peka terhadap asam dan dapat
hidup di dalam air tawar selama kurang lebih satu bulan, tetapi di dalam air
laut, air selokan dan air kemih yang tidak diencerkan akan cepat mati.
Riwayat Alamiah Penyakit Leptospirosis
Leptospirosis dapat terjadi
dengan berbagai manifestasi klinis dari mulai flu ringan sampai penyakit yang
serius. Manisfestasi klinis berkisar mulai dari
keluhan/gejala yang ringan saja seperti demam yang tak begitu tinggi, keluhan
mirip influenza sampai kepada munculnya gejala yang berat bahkan berakibat
fatal, sebagaimana yang dikenal sebagai Weil
disease, meskipun hal ini jarang terjadi.
Perlu diingat bahwa kebanyakan leptospirosis tidaklah selamanya muncul sebagai
penyakit yang berat, dan pendapat kuno yang mengatakan bahwa leptospirosis itu
sinonim/identik dengan Weil disease sesungguhnya
keliru.
Masa
inkubasi penyakit ini pada manusia adalah berkisar antara 7-12 hari, rata-rata 10 hari. Menurut
berat ringannya, leptospirosis dibagi menjadi
ringan dan berat, tetapi untuk pendekatan diagnosis klinis
dan penanganannya, para
ahli lebih senang membagi penyakit ini menjadi leptospirosis anikterik (non-ikterik) dan leptospirosis
ikterik. Leptospira interrogans serovar icterohaemorhagiae
pada awalnya dianggap sebagai penyebab leptospirosis berat tetapi ternyata
leptospirosis ikterik ini tidak secara spesifik disebabkan oleh serovar Leptospira
tertentu.
Dalam
fase leptospiremi akan dijumpai leptospira dalam darah, timbul keluhan sakit
kepala, suhu badan meningkat sampai menggigil, nyeri otot hebat terutama pada
paha, betis dan lumbal yang diikuti hiperestesia. Beberapa penderita mengeluh
nafsu makan berkurang, mual, muntah dan diare. Keluhan batuk dan sakit dada
dijumpai hampir semua kasus, sedangkan batuk darah sangat jarang ditemukan.
Tanda fisik yang dianggap khas adalah conjuctiva
suffusion, pertama kali
timbul pada hari ke 3 atau 4, yang disertai skera mata berwarna kuning dan
adanya photofobia.
Tanda
lain berupa kemerahan pada kulit berbentuk macula, makulo papulo ataupun
urtikaria dan perdarahan kulit. Dua puluh lima persen kasus dijumpai penurunan
kesadaran, brakikardi, hipotensi dan oliguri, yang kadang juga dijumpai
splenomegali, hepatomegali, limfadenopatia. Fase leptospiremia tersebut
berlangsung 4-9 hari dan biasanya berakhir dengan menghilangnya seluruh gejala
dan tanda klinik untuk sementara sekitar 2-3 hari. Pada fase imun, ditandai
dengan munculnya kembali gejala demam yang tidak melebihi 39°C, berlangsung selama
1-3 hari, kadang disertai meningismus, dan timbulnya antibodi IgM dalam
sirkulasi. Pada fase ini kadang dijumpai juga adanya iridosiklitis, neuritis
optik, mielitis, ensefalitis serta neuropati perifer.
Pada
fase berikutnya, yaitu fase penyembuhan terjadi perbaikan klinik yang ditandai
pulihnya kesadaran, hilangnya ikterus, tekanan darah meningkat dan produksi
urine membaik. Fase ini terjadi pada minggu ke 2-4, sedangkan patogenesis fase
ketiga ini masih belum diketahui, demam serta nyeri otot masih dijumpai, yang
kemudian berangsur-angsur menghilang.
Faktor Risiko
Lingkungan Leptospirosis
Perubahan
komponen lingkungan yang memiliki potensi bahaya kesehatan masyarakat pada
kejadian leptospirosis ini meliputi: lingkungan fisik seperti keberadaan sungai
yang membanjiri lingkungan sekitar rumah, keberadaan parit/selokan yang airnya
tergenang, keberadaan genangan air, keberadaan sampah, keberadaan tempat
pengumpulan sampah, jarak rumah dengan sungai, jarak rumah dengan
parit/selokan, jarak rumah dengan tempat pengumpulan sampah, sumber air yang
digunakan untuk mandi/mencuci dan lingkungan biologik seperti keberadaan tikus
ataupun wirok di dalam dan sekitar
1. Keberadaan Sungai Yang Membanjiri Lingkungan Sekitar Rumah.
Keberadaan
sungai menjadikannya sebagai media untuk menularkan berbagai jenis penyakit
termasuk penyakit leptospirosis. Peran sungai sebagai media penularan penyakit
leptospirosis terjadi ketika air sungai terkontaminasi oleh urin tikus atau
hewan peliharaan yang terinfeksi bakteri leptospira sehingga cara penularannya
disebut Water-Borne Infection.
Kotoran
yang berasal dari hewan dan orang yang mengandung bakteri dan virus dapat
dihanyutkan dalam sungai-sungai dan biasa terdapat dalam tanki-tanki tinja di
desa dan bisa juga berada di dalam sumur-sumur atau mata air yang tidak
terlindungi. Menurut Johnson M.A. et.al (2004), tempat tinggal yang dekat
dengan sungai mempunyai risiko 1,58 kali lebih tinggi terkena leptospirosis
(OR=1,58; 95%C.I: 1,07-2,32)
2. Keberadaan Parit/Selokan Yang Tergenang Air.
Parit/Selokan
menjadi tempat yang sering dijadikan tempat tinggal tikus atau wirok serta
sering juga dilalui oleh hewan-hewan peliharaan yang lain sehingga
parit/selokan ini dapat menjadi media untuk menularkan penyakit leptospirosis.
Peran parit/selokan sebagai media penularan penyakit leptospirosis terjadi
ketika air yang ada di parit/selokan terkontaminasi oleh urin tikus atau hewan
peliharaan yang terinfeksi bakteri leptospira.
Kondisi
selokan yang banjir selama musim hujan mempunyai risiko 4 kali lebih tinggi
terkena leptospirosis (OR=4,21; 95%C.I: 1,51-12,83) dan tempat tinggal yang
dekat dengan selokan air mempunyai risiko 5 kali lebih tinggi terkena
leptospirosis (OR=5,15; 95%C.I: 1,80-14,74).
3. Genangan Air.
Air
tergenang seperti yang selalu dijumpai di negeri-negeri beriklim sedang pada
penghujung musim panas, atau air yang mengalir lambat, memainkan peranan
penting dalam penularan penyakit leptospirosis. Tetapi di rimba belantara yang
airnya mengalir deras pun dapat merupakan sumber infeksi.
Biasanya
yang mudah terjangkit penyakit leptospirosis adalah usia produktif dengan
karakteristik tempat tinggal: merupakan daerah yang padat penduduknya, banyak pejamu
reservoar, lingkungan yang sering tergenang air maupun lingkungan kumuh. Tikus
biasanya kencing di genangan air. Lewat genangan air inilah bakteri leptospira
akan masuk ke tubuh manusia.
4. Sampah
Adanya
kumpulan sampah di rumah dan sekitarnya akan menjadi tempat yang disenangi
tikus. Kondisi sanitasi yang jelek seperti adanya kumpulan sampah dan kehadiran
tikus merupakan variabel determinan kasus leptospirosis. Adanya kumpulan sampah
dijadikan indikator dari kehadiran tikus.
5. Sumber
Air
a) Air Hujan
Air hujan merupakan penyubliman
awan/uap air menjadi air murni yang ketika turun dan melalui udara akan
melarutkan benda-benda yang terdapat di udara. Di Amerika Tengah dan Amerika
Selatan, sebagai dampak fenomena El-Nino menyebabkan curah hujan menjadi tinggi
dan menyebabkan banjir. Oleh karena adanya banjir tersebut menyebabkan jumlah
kejadian leptospirosis meningkat.
b) Air Permukaan
Air permukaan merupakan salah
satu sumber yang dapat dipakai untuk bahan baku air bersih. Dalam menyediakan
air bersih terutama untuk air minum, dalam sumbernya perlu diperhatikan tiga
segi yang penting yaitu: mutu air baku, banyaknya air baku, dan kontinuitas air
baku. Dibandingkan dengan sumber lain, air permukaan merupakan sumber air yang
tercemar benar. Keadaan ini terutama berlaku bagi tempat-tempat yang dekat
dengan tempat tinggal penduduk. Hampir semua buangan dan sisa kegiatan manusia
dilimpahkan kepada air atau dicuci dengan air, dan pada waktunya akan dibuang
ke dalam badan air permukaan. Di samping manusia, fauna dan flora juga turut
mengambil bagian dalam mengotori air permukaan. Jenis-jenis sumber air yang
termasuk ke dalam air permukaan adalah air yang berasal dari Sungai, Selokan,
Rawa, Parit, Bendungan, Danau, Laut, dan sebagainya.
c) Air Tanah
Sebagian air hujan yang mencapai
permukaan bumi akan menyerap ke dalam tanah dan akan menjadi air tanah. Sebelum
mencapai lapisan tempat air tanah, air hujan akan menembus beberapa lapisan tanah
sambil berubah sifatnya. Menurut David, A. et al (2000), sumber air untuk rumah
tangga yang berasal dari sumur gali mempunyai risiko 1,9 kali lebih tinggi
terkena leptospirosis (OR=1,9; 95%C.I: 1,1-3,5), sumber air untuk rumah tangga
yang berasal dari sungai mempunyai risiko 1,4 kali lebih tinggi terkena
leptospirosis (OR=1,4; 95%C.I: 1,1-1,9).
6. Jarak Rumah Dengan Tempat Pengumpulan
Sampah
Tikus
senang berkeliaran di tempat sampah untuk mencari makanan. Jarak rumah yang
dekat dengan tempat pengumpul sampah mengakibatkan tikus dapat masuk ke rumah
dan kencing di sembarang tempat. Jarak rumah yang kurang dari 500 meter dari
tempat pengumpulan sampah menunjukkan kasus leptospirosis lebih besar dibanding
yang lebih dari 500 meter.
7. Populasi Tikus Di Dalam Dan Di Luar Rumah
Kondisi lingkungan rumah sangat erat kaitannya dengan
keberadaan tikus yang sudah terbukti sebagai reservoir alami leptospirosis. Kondisi
rumah sehat adalah rumah dengan kondisi dinding rumah dan dapur dari tembok,
lantai bukan tanah, ada ventilasi, kondisi pintu dapat menutup rapat, terdapat
langit-langit serta jendela yang kondisinya dapat menutup rapat. Uji statistik
menunjukkan rumah yang tidak sehat berhubungan secara signifikan dengan
kejadian leptospirosis.
Dinding rumah biasanya digunakan
tikus untuk lalu lintas masuk ke dalam rumah. Menurut Ristiyanto dinding rumah
bukan tembok bukan sebagai faktor resiko kejadian leptospirosis. Dinding yang
digunakan sebagai tempat berlindung dan lalu lintas tikus (reservoir leptospirosis)
biasanya kondisi kering, dan dinding rumah pada umumnya dicat/kapur,
kemungkinan bukan media yang baik bagi kehidupan bakteri Leptospira dari
air
kencing tikus. Menurut
Widarso dkk. media perkembangan bakteri leptospira yang sesuai adalah lembab
atau berair. Kondisi lantai rumah sebagian besar masih tanah merupakan tempat
yang potensial untuk kehidupan bakteri leptospira.
Bakteri leptospira ini mampu
bertahan hidup bulanan di air dan tanah, dan mati oleh desinfektans seperti
lisol. Maka upaya "lisolisasi" pada lantai yang bukan tanah/plester,
seluruh permukaan lantai, dinding, dan bagian rumah yang diperkirakan tercemar
air kotor banjir yang mungkin sudah berkuman leptospira, dianggap cara mudah
dan murah mencegah "mewabah"-nya leptospirosis. Dinding yang terbuat
dari triplek
atau bambu lebih mudah digunakan untuk lalu lintas tikus.
Biasanya dapur tempat yang
paling disukai oleh tikus untuk bersarang, dimana banyak terdapat bahan
makanan, sehingga kemungkinan barang-barang yang ada di dapur terkontaminasi
air kencing tikus sangat besar. Untuk mencegahnya biasakan membasuh tangan
sehabis menangani hewan, ternak, atau membersihkan gudang, dapur, dan
tempat-tempat kotor.
Rumah responden sebagian besar
dilengkapi dengan langit-langit, yang merupakan tempat yang aman bagi tikus
untuk bersarang, karena jauh dari jangkauan manusia. Tidak adanya langit-langit
akan memudahkan tikus untuk masuk dan mencari pakan di dalam rumah. Hasil
penelitian Mari Okatini yang menyebutkan bahwa kondisi plafon rumah yang tidak
memenuhi syarat tidak berhubungan dengan timbulnya kejadian leptospirosis.
Kondisi sanitasi rumah yang baik
meliputi adanya tempat sampah, kondisi tempat sampah yang tertutup, frekuensi
pembuangan setiap hari,penataan perabotan rumah tangga tersusun rapi, adanya
saluran dan penampungan air limbah. Kondisi sanitasi rumah tempat tinggal
secara statistik tidak berhubungan dengan kejadian leptospirosis. Kebersihan
rumah pada umumnya berhubungan dengan pengelolaan sampah rumah tangga atau
bahan yang tidak digunakan ataupun terbuang, baik sampah padat (refuse). Sampah
mudah busuk (garbage) dan sampah tidak mudah busuk (rubbish). Hampir
semua responden mempunyai tempat sampah didalam rumah, meskipun sebagian besar
dalam kondisi terbuka akan tetapi frekuensi membuang sampah ke tempat
pembuangan akhir rutin dilakukan setiap hari, sehingga tidak terjadi penimbunan
sampah di dalam rumah, yang dapat mengundang tikus masuk. Hasil penelitian ini
berbeda dengan Priyanto yang mengatakan bahwa ada hubungan antara adanya sampah
didalam rumah dengan kejadian leptospirosis (p-value=0,000) dan beresiko untuk
terpapar sebesar 8,46 kali dibandingkan dengan rumah yang didalamnya
tidak terdapat sampah. Rumah yang kurang bersih merupakan
faktor resiko terpapar leptospirosis (OR=3,61). Sisa makanan (sampah) merupakan
sumber pakan tikus (inang reservoir leptospirosis), sehingga keberadaan sampah
di dalam dan luar rumah dapat meningkatkan kontak tikus dan penduduk.
Rumah dengan penataan perabot
yang berserakan cenderung kebersihan rumahnya
kurang yang berarti banyak ditemukan sampahsampah
disekitaraya. Barang-barang yang tidak tertata dengan rapi dapat menjadi tempat
persembunyian tikus.
8. Kondisi
Tempat Bekerja
Leptospirosis dianggap sebagai
penyakit yang berkaitan dengan pekerjaan. Namun demikian, cara pengendalian
tikus yang diperbaiki dan standar kebersihan yang lebih baik akan mengurangi
insidensi di antara kelompok pekerja seperti penambang batu bara dan individu
yang bekerja di saluran pembuangan air kotor. Pola epidemiologis sudah berubah;
di Amerika Serikat, Inggris, Eropa dan Israel, leptospirosis yang berhubungan
dengan ternak dan air paling umum.
Kurang dari 20 persen pasien
yang mempunyai kontak langsung dengan binatang; mereka terutama petani,
penjerat binatang atau pekerja pemotongan hewan. Pada sebagian besar pasien,
pemajanan terjadi secara kebetulan, dua per tiga kasus terjadi pada anak-anak,
pelajar atau ibu rumah tangga. Kondisi tempat bekerja yang selalu berhubungan
dengan air dan tanah serta hewan dapat menjadi salah satu faktor risiko
terjadinya proses penularan penyakit leptospirosis. Air dan tanah yang
terkontaminasi urin tikus ataupun hewan lain yang terinfeksi leptospira menjadi
mata rantai penularan penyakit leptospirosis.
9. Keberadaan Hewan Peliharaan Sebagai Hospes Sementara
Leptospira juga terdapat pada
binatang piaraan seperti anjing, lembu, babi, kerbau dan lain-lain maupun
binatang liar seperti tikus, musang, tupai dan sebagainya. Di dalam tubuh
binatang tadi yang bertindak sebagai hospes reservoar, mikroorganisme
leptospira hidup di dalam ginjal/air kemih.
Dari hewan peliharaan dapat
diisolasi L.
intterogans var. Pomona dan
L.
intterogans var. Javanica oleh
Esseveld dan Colier 1938 kucing di Jawa.
Kemudian Mochtar dan Cilier secara serologis menemukan L. intterogans var.
Bataviae, L. intterogans var.
Javanica, L. intterogans var.
Icterohaemorrhagiae dan
L.
intterogans var. Canicola pada
anjing di Jakarta. Hewan ternak seperti sapi, kerbau, kuda, dan babi dapat ditemukan serovar L. intterogans var.
Pomona, juga
didapatkan 12 serovar lainnya.
Di sebagian besar negara tropis
termasuk negara
berkembang
kemungkinan paparan leptospirosis terbesar pada manusia karena terinfeksi dari
binatang ternak, binatang rumah maupun binatang liar.
10. Sistem Distribusi Air Bersih
Sistem
distribusi air bersih dengan saluran tertutup dapat menghambat penularan
penyakit leptospirosis dari binatang ke manusia karena apabila pelayanan sistem
distribusi air bersih secara tertutup ini tidak tersedia dapat meningkatkan
kontaminasi atau pencemaran air yang digunakan untuk konsumsi manusia.
11. Sistem
Pembuangan Air Limbah
Keberadaan
bak pencucian pembuangan kotoran yang terbuka dan keberadaan kotoran dalam
rumah dapat meningkatkan gangguan setempat oleh binatang pengerat.
Kondisi-kondisi itu juga memberikan kemungkinan kontak baik langsung maupun
tidak langsung dengan kotoran hewan yang terkontaminasi
Simpulan
Berdasarkan
hasil pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor lingkungan
yang mempengaruhi leptospirosis adalah keberadaan sungai yang membanjiri
lingkungan sekitar rumah, keberadaan
parit/selokan yang tergenang air, genangan air, sampah, sumber air, jarak rumah
dengan tempat sampah, populasi tikus di dalam dan diluar rumah, kondisi tempat
bekerja, keberadaan hewan peliharaan sebagai hospes sementara, sistem
distribusi air bersih dan sistem pembuangan air limbah.
Daftar Pustaka
- Bambang Y, 2008, Epidemiologi Leptospirosis di Kota Semarang (Tahap I)
- Dharmojono,H., 2001. 15 Penyakit Menular dari Binatang ke Manusia, Milenium Publisher, Jakarta: 99-110
- Mari Okatini, Rachmadhi Purwana, I. Made Djaja, Hubungan Faktor Lingkungan Dan Karakteristik Individu Terhada Kejadian Leptospirosis Di Jakarta 2003-2005.
- Priyanto, Agus,2008, Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian leptospirosis (studi kasus di Kabupaten Demak).
- Ramadhani, Tri dan Bambang Yunianto, 2010, Kondisi Lingkungan Pemukiman Yang Tidak Sehat Berisiko Terhadap Kejadian Leptospirosis (Studi Kasus Di Kota Semarang). Suplemen Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Volume XX Tahun 2010.
- Ristiyanto,dkk, Studi Epidemiologi Leptospirosis Di Dataran Rendah Kabupaten Demak Jawa Tengah
- Suratman. 2006. Analisis Faktor Risiko Lingkungan Dan Perilaku Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Leptospirosis Berat Di Kota Semarang (Studi Kasus Leptospirosis Yang Dirawat Di Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang). Tesis. Universitas Diponegoro
- Widarso, H.S, dan Purba W., 2002, Kebijaksanaan Departemen Kesehatan dalam Penanggulangan Leptospirosis di Indonesia, Kumpulan Makalah Simposium Leptospirosis, Semarang, 3 Agustus 2002
- Wiharyadi D. Faktor-faktor risiko leptospirosis di kota semarang. Tesis. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Undip Semarang. 2004.
Komentar
Posting Komentar